Oleh: Reviandi
Meski pada Pemilihan Presiden 2024 Sumatra Barat (Sumbar) bukan merupakan basis suara utama yang memenangkan Prabowo Subianto, arah kebijakan pembangunan nasional justru menunjukkan bahwa Presiden tetap menempatkan wilayah ini sebagai prioritas strategis. Fenomena ini menarik untuk dikaji dari perspektif politik pembangunan dan integrasi nasional, karena memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin nasional menjalankan tanggung jawab kenegaraan di atas kalkulasi politik elektoral.
Dalam konteks politik kontemporer Indonesia, langkah Prabowo dapat dipahami sebagai bentuk politik kebangsaan (national politics) — pendekatan yang menempatkan pembangunan sebagai alat pemersatu bangsa, bukan instrumen balas budi terhadap basis pemilih. Prabowo menunjukkan bahwa pembangunan adalah amanat konstitusi, bukan hadiah politik. Sikap ini sekaligus mengoreksi praktik politik transaksional (reciprocal politics) yang sering membayangi demokrasi elektoral di Indonesia.
Salah satu manifestasi nyata dari komitmen itu ialah pembangunan Fly Over Sitinjau Lauik senilai sekitar Rp5,8 triliun. Proyek strategis nasional ini telah lama menjadi harapan masyarakat Sumbar, mengingat jalur Padang–Solok merupakan urat nadi ekonomi dan logistik yang sangat vital. Dengan proyek tersebut, pemerintah tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membuka akses sosial dan ekonomi bagi masyarakat di kawasan tengah Sumbar. Dalam kerangka politik pembangunan (developmental politics), kebijakan ini menegaskan bahwa infrastruktur adalah alat pemerataan dan konektivitas, bukan semata simbol kemajuan.
Selain itu, melalui Inpres Jalan Daerah (IJD), pemerintah menggelontorkan ratusan miliar Rupiah untuk memperbaiki jalan-jalan kabupaten dan kota di Sumbar. Program ini bersifat langsung menyentuh kebutuhan rakyat, memperlancar arus logistik, serta memperkuat konektivitas antarwilayah. Pendekatan seperti ini sejalan dengan konsep keadilan spasial dan pembangunan inklusif, di mana negara hadir secara nyata untuk mengurangi kesenjangan antar daerah.
Dalam bidang sumber daya manusia, perhatian terhadap program Sekolah Rakyat dan implementasi Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi bukti bahwa arah pembangunan era Prabowo tidak hanya berorientasi pada fisik, tetapi juga pada peningkatan kualitas manusia. Program MBG, yang kini sudah mulai diterapkan di sejumlah daerah di Sumbar, mendapat sambutan positif dari masyarakat. Program ini dinilai mampu membantu keluarga berpendapatan rendah sekaligus meningkatkan gizi anak-anak usia sekolah.
Dalam kerangka teori pembangunan manusia (human development theory), kebijakan semacam ini memperluas makna pembangunan dari sekadar pertumbuhan ekonomi menjadi peningkatan kapabilitas sosial dan kualitas hidup masyarakat.
Seiring dengan implementasi program-program tersebut, muncul gejala menarik di tengah masyarakat Sumbar: kecintaan publik terhadap Prabowo tampak mulai tumbuh kembali. Masyarakat menilai Prabowo adalah pemimpin yang tulus dan tidak membeda-bedakan daerah berdasarkan dukungan politik. Pandangan ini menguat seiring semakin banyaknya program nasional yang diarahkan ke Sumbar.
Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, hampir setiap pekan ada menteri dari Kabinet Prabowo yang datang ke Sumbar untuk meninjau proyek, meresmikan program, atau berdialog dengan masyarakat. Fenomena ini menunjukkan adanya intensitas dan konsistensi pembangunan yang bersifat langsung, konkret, dan terukur.
Peran kader Partai Gerindra seperti Andre Rosiade, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, turut memperkuat jembatan antara pemerintah pusat dan masyarakat Sumbar. Melalui fungsi legislasi dan pengawasan, Andre mendorong agar BUMN dan kementerian memperluas jangkauan program-programnya di Sumbar. Dalam perspektif teori institusional dan network governance, kolaborasi seperti ini memperlihatkan bahwa pembangunan tidak lagi bersifat top-down, melainkan hasil interaksi antara aktor pusat dan daerah dalam sistem politik yang saling menguatkan.
Kedekatan Prabowo dengan Sumbar juga memiliki dimensi historis. Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa Sumatra Barat adalah rumah keduanya. Secara genealogis dan kultural, hal ini berakar pada hubungan ayahnya, ekonom nasional Soemitro Djojohadikusumo, dengan banyak tokoh pergerakan asal Minangkabau pada masa perjuangan bangsa. Dari sudut pandang politik identitas dan modal simbolik (symbolic capital), kedekatan historis tersebut membangun resonansi emosional antara Prabowo dan masyarakat Sumbar — hubungan yang melampaui dimensi elektoral dan bersifat kultural-ideologis.
Lebih jauh, sikap Prabowo yang menempatkan sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara dari ranah Minang juga menunjukkan kepercayaannya terhadap kapasitas sumber daya manusia Sumbar. Pendekatan ini merupakan perwujudan dari politik meritokrasi dan politik representatif, di mana partisipasi daerah bukan sekadar simbol, tetapi menjadi bagian integral dari proses pengambilan kebijakan nasional.
Jika ditinjau melalui teori politik integratif (integrative politics), pola kepemimpinan Prabowo mencerminkan upaya merekatkan kembali kohesi nasional melalui keadilan pembangunan. Ia memahami bahwa keberhasilan pemerintahan tidak hanya diukur dari kemenangan dalam pemilu, tetapi juga dari kemampuan merawat kepercayaan masyarakat di seluruh pelosok negeri. Dalam konteks itu, pembangunan di Sumbar menjadi wujud nyata dari politik rekonsiliasi dan pembangunan berkeadilan, di mana negara hadir secara setara di semua wilayah.
Dari perspektif teori negara kesejahteraan (welfare state theory), arah pembangunan di Sumbar menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo berupaya menjadikan pembangunan sebagai instrumen kesejahteraan yang inklusif. Infrastruktur dibangun, jalan diperbaiki, gizi anak diperhatikan, pendidikan diperkuat, dan masyarakat dilibatkan. Semua itu menandai pergeseran paradigma pembangunan dari sekadar simbol kemajuan menjadi perwujudan kasih negara terhadap rakyatnya.
Pada akhirnya, perhatian Presiden Prabowo Subianto terhadap Sumatra Barat merupakan ekspresi dari cinta politik yang berakar pada nilai kebangsaan, sejarah, dan rasa tanggung jawab. Ia membuktikan bahwa cinta kepada rakyat tidak diukur dari jumlah suara yang diberikan, melainkan dari sejauh mana negara hadir untuk mereka. Sumbar kini menikmati momentum pembangunan yang bersejarah—sebuah bukti bahwa politik kebangsaan dan cinta historis dapat berpadu menjadi energi besar bagi kemajuan daerah dan persatuan Indonesia. (Wartawan Utama)














