Oleh: Reviandi
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil alih tanggung jawab pembiayaan Kereta Cepat Indonesia—Whoosh—merupakan langkah berani yang menandai arah baru kebijakan transportasi nasional. Di tengah berbagai tantangan ekonomi dan perdebatan publik mengenai proyek ini, Presiden memilih jalan tanggung jawab: menyelamatkan proyek strategis sekaligus memastikan keberlanjutannya sebagai bagian dari visi besar konektivitas Indonesia.
Kereta Cepat Whoosh, akronim dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat, bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah simbol kemajuan teknologi, hasil kerja sama antara PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dan pemerintah Indonesia. Namun sejak awal, proyek ini menghadapi kompleksitas—dari pembengkakan biaya hingga isu pembiayaan jangka panjang. Di sinilah kepemimpinan diuji.
Presiden Prabowo menunjukkan karakter kenegarawanan ketika memutuskan untuk menanggung beban utang sekitar Rp1,2 triliun per tahun demi memastikan proyek tidak berhenti di tengah jalan. Langkah ini bukan sekadar solusi administratif, melainkan representasi tanggung jawab moral dan politik seorang kepala negara. Ia menegaskan bahwa pembangunan besar tidak boleh terhenti hanya karena persoalan finansial jangka pendek.
Dalam konteks pembangunan nasional, keputusan tersebut mencerminkan pendekatan developmental state—negara berperan aktif mengarahkan pembangunan strategis untuk kepentingan jangka panjang. Prabowo menegaskan bahwa infrastruktur transportasi adalah tulang punggung ekonomi. Negara tidak boleh abai terhadap proyek yang memiliki potensi besar mempercepat arus manusia, barang, dan jasa antarkawasan.
Lebih jauh, Presiden juga mengumumkan rencana memperluas jalur kereta cepat hingga ke Banyuwangi, Jawa Timur. Visi ini memperlihatkan orientasi pembangunan yang lebih komprehensif dan berorientasi pemerataan. Bila jalur Jakarta–Bandung adalah fase awal, maka perpanjangan hingga Surabaya dan Banyuwangi adalah langkah lanjutan menuju integrasi ekonomi Pulau Jawa dari barat ke timur. Secara ekonomi, hal ini akan memperkuat rantai pasok, menekan biaya logistik, serta mempercepat mobilitas industri dan pariwisata.
Namun, kebijakan ini tidak berhenti pada Pulau Jawa. Presiden Prabowo juga menargetkan percepatan pembangunan jaringan kereta lintas pulau seperti Trans-Sumatra Railway, Trans-Kalimantan Railway, dan Trans-Sulawesi Railway. Ambisi tersebut memperlihatkan konsistensi visi bahwa Indonesia harus dibangun sebagai negara konektif, di mana rel bukan sekadar jalur transportasi, melainkan simpul integrasi wilayah dan ekonomi nasional.
Dari perspektif tata kelola pemerintahan, keputusan ini juga membawa pesan penting: negara tidak boleh bersembunyi di balik alasan fiskal ketika menyangkut kepentingan strategis rakyat banyak. Keberanian Presiden Prabowo menanggung beban utang proyek ini menunjukkan paradigma baru dalam pengelolaan kebijakan publik—berani bertanggung jawab, berpikir jangka panjang, dan menempatkan manfaat publik di atas kalkulasi politik sesaat.
Investasi pada kereta cepat juga sejalan dengan tren global menuju transportasi berkelanjutan. Moda rel dikenal lebih efisien dalam konsumsi energi dan lebih ramah lingkungan dibanding moda transportasi berbasis jalan raya atau udara. Dengan demikian, keputusan Presiden Prabowo bukan sekadar soal keberanian fiskal, tetapi juga bagian dari strategi transisi menuju ekonomi hijau dan transportasi rendah karbon.
Tantangan tentu tidak kecil. Pemerintah harus memastikan tata kelola keuangan proyek ini lebih transparan dan efisien. PT KAI dan Kementerian Perhubungan dituntut memperkuat kapasitas manajemen, inovasi layanan, serta memperluas keterjangkauan tarif bagi masyarakat. Hanya dengan cara itulah proyek ini benar-benar menjadi milik rakyat, bukan sekadar kebanggaan simbolik.
Kepemimpinan selalu diuji bukan ketika segalanya mudah, tetapi ketika dihadapkan pada pilihan sulit. Prabowo memilih untuk menanggung tanggung jawab besar demi kesinambungan proyek masa depan. Ia menegaskan bahwa pembangunan bukanlah beban, melainkan amanah yang harus diselesaikan dengan keberanian dan konsistensi.
Dalam kerangka itulah, keputusan Presiden Prabowo harus dibaca sebagai pernyataan arah pembangunan nasional: berani, visioner, dan berorientasi jangka panjang. Kereta cepat Whoosh bukan hanya simbol kemajuan teknologi, tetapi juga simbol kepemimpinan yang menatap jauh ke depan—membangun konektivitas bangsa dari Jakarta hingga Banyuwangi, dari Sumatra hingga Sulawesi. (wartawan utama)














