Oleh: Reviandi
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2 Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan 10 November 2025 menjadi keputusan yang mengundang perdebatan luas. Di berbagai ruang publik, baik media arus utama maupun media sosial, isu ini menjadi topik hangat dan mencerminkan bahwa sosok Soeharto masih menjadi bagian penting dari memori kolektif bangsa Indonesia.
Di satu sisi, banyak yang menolak. Penolakan datang dari kalangan yang menganggap Soeharto harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan praktik otoritarianisme pada masa Orde Baru. Sejumlah aktivis 1998 menyuarakan bahwa penghargaan tersebut melukai perjuangan reformasi. Bahkan beberapa tokoh PDIP menyatakan bahwa keputusan ini tidak sensitif terhadap sejarah politik Indonesia, terutama terhadap keluarga besar Bung Karno.
Namun di sisi lain, dukungan terhadap keputusan Prabowo juga sangat kuat. Data survei dari Indikator Politik Indonesia (September 2025) misalnya, menunjukkan bahwa 63,2 persen responden menilai masa pemerintahan Soeharto lebih stabil dan sejahtera dibandingkan periode setelah reformasi. Mereka mengingat harga bahan pokok yang terkendali, pembangunan infrastruktur yang merata, dan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 7 persen per tahun antara 1970 hingga 1996. Fakta-fakta ini menjadi alasan mengapa sebagian masyarakat memandang Soeharto sebagai tokoh pembangunan, bukan sekadar simbol kekuasaan.
Presiden Prabowo tampaknya tidak sekadar bertindak simbolik. Keputusan ini memiliki pesan politik dan moral yang kuat: rekonsiliasi nasional dan penutupan luka sejarah. Dengan langkah itu, Prabowo ingin menegaskan bahwa bangsa ini harus berdamai dengan masa lalunya. Ia sendiri pernah menjadi bagian dari sejarah Orde Baru, namun kini berdiri sebagai pemimpin yang mencoba memadukan dua warisan besar bangsa—Soekarnoisme dan Orde Baru—dalam satu semangat kebangsaan.
Perlu diingat, Bung Karno telah lebih dulu mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2012, di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka, pengangkatan Soeharto oleh Prabowo pada 2025 seolah menjadi pelengkap sejarah, menyatukan dua presiden besar yang dulunya sempat berseberangan dalam arah politik bangsa. Soekarno adalah simbol perlawanan dan ideologi, sementara Soeharto adalah simbol stabilitas dan pembangunan.
Prabowo memahami bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya secara utuh, bukan setengah-setengah. Dalam pidatonya di Istana Negara, ia menegaskan:
“Kita tidak bisa terus terpecah karena masa lalu. Pahlawan adalah mereka yang berjasa bagi bangsa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Indonesia harus berdamai dengan sejarahnya sendiri.”
Kalimat itu menegaskan arah politik Prabowo—bukan untuk menutupi kekeliruan masa lalu, tetapi untuk mengajak bangsa menatap masa depan dengan kedewasaan sejarah. Islah nasional yang ia maksud bukan sekadar berdamai antar-elit politik, tapi membangun kesadaran kolektif bahwa perpecahan ideologis hanya menghambat kemajuan bangsa.
Langkah ini juga selaras dengan strategi besar pemerintahan Prabowo dalam memperkuat persatuan nasional di tengah situasi global yang tidak menentu. Ia tahu, tanpa keutuhan bangsa, program-program besar seperti ketahanan pangan, industrialisasi hilirisasi mineral, hingga swasembada energi 2030 akan sulit tercapai.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa di balik kontroversinya, Soeharto punya warisan konkret: pembangunan jalan trans-Jawa, program Inpres Sekolah Dasar, Keluarga Berencana, dan Swasembada Pangan 1984 yang bahkan diakui dunia melalui penghargaan FAO. Semua itu menunjukkan bahwa perjalanan bangsa tidak hanya diwarnai konflik politik, tetapi juga kerja nyata yang membentuk fondasi Indonesia modern.
Kini, dengan langkah berani itu, Prabowo ingin mengakhiri pertikaian simbolik antara pengagum Soekarno dan nostalgian Orde Baru. Dengan juga mengangkat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada saat yang sama, Prabowo ingin menegaskan bahwa sejarah bangsa ini milik semua orang, baik yang pro maupun kontra terhadap kekuasaan masa lalu.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti saling menyalahkan. Energi bangsa tidak boleh habis untuk membicarakan masa lalu yang tak bisa diubah. Tantangan Indonesia saat ini jauh lebih besar: ketahanan ekonomi, kedaulatan pangan, dan stabilitas sosial di tengah gejolak global.
Maka, keputusan Prabowo bukan sekadar penghargaan kepada seorang mantan presiden, tetapi sebuah pesan moral dan politik bahwa kekuatan sejati bangsa terletak pada kemampuan untuk memaafkan dan bersatu. Karena sejatinya, pahlawan bukan hanya mereka yang bertempur di medan perang, tetapi juga mereka yang berani menutup luka lama demi masa depan Indonesia yang damai dan berdaulat. (wartawan utama)














