Oleh: Reviandi
Tak cukup lagi setahun, Pemilihan Umum (Pemilu) akan digelar di Indonesia. Namun, masih banyak keraguan-keraguan dan kekurangan yang terlihat dari waktu ke waktu. Sampai hari ini, salah satu kandidat partai politik (parpol) peserta Pemilu masih ada yang sedang diverifikasi. Partai Prima namanya, yang memenangkan gugatan atas KPU dan membuat heboh Pemilu akan ditunda.
Salah satu yang membuat cemas KPU sebagai penyelenggara adalah, rendahnya kepercayaan anak muda terhadap parpol. Bahkan, indeks kepercayaan kalangan muda terhadap partai politik (parpol), yaitu sebesar 32,67 persen. Itu adalah hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 2021 yang menunjukkan kepercayaan anak muda terhadap lembaga parpol sangat rendah.
Padahal, Pemilu 2024 adalah eranya anak muda. Karena mereka mendominasi jumlah pemilih, utamanya kalangan Milenial yang lahir antara 1981-1996 atau berumur 27-41 tahun. Dilanjutkan dengan generasi Z atau Gen Z yang lahir 1997-2012 yang sebagiannya sudah bisa memilih, namun yang paling kecil masih berusia 11 tahun.
Bagi KPU, ini jelas ancaman karena berpotensi menurunkan jumlah pemilih. Karena, partisipasi pemilih adalah satu hal yang menjadi tolok ukur kesuksesan penyelenggaraan kontestasi, baik Pemilu atau Pilkada. Kalau rendah, pastinya para komisioner ini akan habis dihujat atau disalahkan. Bahkan, sampai-sampai ada yang menyenggol atau meragukan calon yang terpilih. Legitimasinya dianggap rendah atau kurang meyakinkan.
Kembali ke survei itu, yang menjadikan anak muda enggan memilih adalah, karena menilai parpol belum bisa mewakili aspirasi rakyat atau masyarakat. Bahkan jumlah anak muda yang merasa demikian mencapai 52,7 persen. Jumlah yang membuat penyelenggara gamang, andai mereka benar-benar ogah mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).
Beragam upaya harus dilakukan untuk menarik minat para anak muda ini melek atau melirik politik. Kalau tidak, Pemilu 2024 hanya akan diisi oleh orang-orang tua sepuh, atau minimal separuh kaum Milenial yang berusia 30 tahun ke atas saja. Usia di bawahnya, tidak akan merasa aspirasi mereka akan diperjuangkan oleh orang-orang yang foto dan namanya mulai nampang di spanduk dan baliho serta media massa.
KPU di berbagai tingkatan terus melakukan sosialisasi Pemilu kepada kaum muda dengan berbagai cara. Kerja sama dengan influencer, dan akun-akun media sosial yang memiliki follower, subscriber dan daya tarik tinggi sudah dilakukan. Bahkan, ada yang sampai kerja sama dengan YouTuber andal dan banyak pengikut. Harapannya satu, agar generasi muda mau terlibat politik.
Agar jangan anak muda hanya dijadikan komoditas politik penyumbang suara belaka. Disalahgunakan oleh oknum-oknum calon yang pandai merayu agar suara pemuda untuk mereka. Sementara mereka tak pernah sedikitpun memiliki program untun generasi muda. Hanya program-program tak bermanfaat yang akan melanggengkan politisi-politisi belaka. Untuk anak muda? Entahlah.
Beberapa partai politi sebenarnya mulai ngeh dengan ogahnya anak muda berpolitik apalagi masuk partai politik. Di Sumbar, sejumlah anak muda malah diberikan kesempatan menjadi Ketua Partai tingkat Sumbar atau Kabupaten dan Kota. Meski, banyak yang masih belum menunjukkan apa-apa, karena partai belum memiliki sesuatu yang baik untuk dijual ketua muda tersebut. Hanya nampang jadi ketua, tapi partai tak bergerak.
Selain itu, ada juga yang memberikan kesempatan untuk Gen Z atau Milenial untuk menjadi calon anggota DPR Kabupaten dan Kota sampai DPR RI. Meski kalau soal nomor urut ya tunggu dulu. Kemungkinan mereka hanya akan mengisi posisi papan bawah atau melengkapi kuota 30 persen perempuan saja. Kecuali yang menjadi pengurus harian partai seperti ketua, sekretaris dan bendahara, ada harapan nangkring di papan atas.
Jumlah pemilih muda 2024 diprediksi menjadi komposisi pemilih terbesar. Pada Pemilu 2019, data dari KPU jumlah pemilih muda sudah mencapai 70 juta-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya 35%-40% pemilih muda sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap hasil Pemilu mendatang. Tapi jangan sampai KPU dan parpol tak pandai mengelolanya, karena bisa meningkatkan potensi golput atau orang yang tak memberikan hak suaranya.
Kini, sekitar 11 bulan jelang Pemilu 2024 ini, KPU harus bekerja keras agar pemuda mau ke TPS. Ciptakanlah kondisi-kondisi yang membuat mereka mau tahu dan penasaran dengan politik. Jangan sampai, antipati terhadap politik membuat mereka malah malas datang ke TPS. Minimal, setelah penetapan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota beberapa waktu lagi, mereka tak bisa terlena. Harus bekerja keras menggenjot sosialisasi Pemilu kepada anak muda.
Untuk partai politik, jangan hanya menilai pemuda sebagai sumber suara belaka. Coba rangkul dan jadikan mereka sebagai warga negara yang juga memiliki hak politik. Memiliki peran untuk mengubah nasib bangsa ke depan. Rangkul dan berikan kesempatan mereka untuk terlibat langsung dan bergerak bersama-sama menyambut Pemilu. Menyambut alek demokrasi lima tahunan yang selama ini hanya dikuasai generasi tua. Jangan pernah berpikir memberi kesempatan pemuda, membuat yang tua akan cepat tersingkir.
Buya Hamka pernah berpesan pada pemuda, “Pemuda haruslah mempunyai cita-cita tinggi supaya hidupnya berarti. Apabila cita-cita tercapai, terutama di hari tuanya, dia akan menekur melihat anak tangga yang dilaluinya dahulu dengan tersenyum.” Tapi bagaimana membuat Pemilu lebih baik, kalau pemuda tak punya cita-cita masuk partai politik. Meski semua tahu, di Indonesia semua diatur dari parpol. (Wartawan Utama)