Oleh: Reviandi
Kalau lah tak bisa dibilang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) “berulah,” ya statemen yang menyebutkan modus politik uang dalam bentuk zakat dan tunjangan hari raya (THR) rasanya berlebihan. Apalagi, musim kampanye belum dimulai. Daftar calon legislatif tetap (DCT) atau calon anggota DPD tetap juga belum ada. Masih jauh jadwalnya.
Entah kenapa, Bawaslu menyebut ada dua modus politik uang yang kerap terjadi saat bulan Ramadhan, yakni pemberian zakat dan THR. Sungguh sebuah pernyataan yang bisa dikatakan semi menyerang umat Islam. Karena, zakat punya ketentuan tersendiri, dan THR juga punya aturannya yang kuat, UU-nya sendiri. Jadi, tak mungkin dikait-kaitkan dengan politik, apalagi masa kampanye masih jauh.
Zakat di Indonesia, selain diatur oleh Agaam Islam juga diatur Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Sementara THR diatur UU Tenaga Kerja dan Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Aturan yang jelas dan sangat mengikat kepada pembayar zakat atau THR.
Sebenarnya yang dipersoalkan oleh Bawaslu itu bukanlah zakat dan THR yang sebenarnya. Namun istilah yang digunakan oleh pemberi, baik politisi atau calon kepala daerah kepada calon pemilihnya. Ada yang menamakannya “THR” bahkan tak jarang yang menyebutnya dengan “zakat.”
Bawaslu seharusnya lebih jeli dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan itu. Apalagi mengaitkan dengan agama tertentu, dalam hal ini Islam. Karena zakat sudah diatur sedemikian rupa dan ada beberapa macam. Zakat di bulan Ramadhan utamanya adalah zakat fitrah yang dibayarkan sebelum khatib Idul Fitri naik mimbar. Banyak juga yang memanfaatkan Ramadhan untuk berzakat mall atau harta.
Menariknya, Bawaslu juga memberikan saran kepada para politisi untuk membauarkan zakat melalui lembaga pengumpul saja. Agar tak mengakibatkan kerumunan, atau penumpulan warga yang mengakibatkan kekisruhan atau semacamnya. Dalam hal ini, Bawaslu juga kembali telah mencampuri urusan pribadi orang yang mau berzakat atau memberikan bantuannya.
Alasan Bawaslu mungkin saja dapat dikaitkan dengan larangan memanfaatkan rumah ibadah untuk acara-acara kepartaian. Apalagi menggunakan masjid, mushalla, gereja, vihara dan lainnya untuk membagi-bagikan amplop berisikan uang kepada para jamaah atau pengikutnya. Seperti yang dilakukan politisi PDIP Said Abdullah di Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Untuk masalah ini, sebenarnya Bawaslu sudah melakukan hal yang bertolak belakang dengan apa yang disebutnya baru-baru ini. Pasalnya, setelah selesai melakukan pengawasan atas peristiwa pembagian uang dengan amplop bergambar Said Abdullah dan berlogo PDIP di tempat ibadah di Sumenep, Bawaslu menyatakan itu bukan pelanggaran.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja mengatakan, mereka telah melakukan penelusuran terkait itu. Dilakukan pengawasan dilakukan kepada DPC PDIP Sumenep, takmir-takmir masjid dan penerima-penerima amplop sesuai obyek dugaan pelanggaran.
Bagja menyimpulkan, kejadian itu bukan merupakan pelanggaran Pemilu. Sebab, dari penelusuran mereka saat itu tidak ada ajakan-ajakan untuk memilih Said Abdullah, Ahmad Fauzi maupun PDIP. Serta, terjadi saat tahapan Pemilu belum dimulai.
Karena tidak terbukti adanya unsur kampanye, tahapan kampanye belum dimulai saat ini dan ajakan saat itu tidak ada. Kalau terbukti ada ajakan bisa kena sanksi administrasi, sanksi teguran atau sanksi pengurangan masa kampanye.
Nah, di sinilah anehnya Bawaslu. Kalau apa yang dilakukan politisi PDIP itu saja tidak disebut kampanye dan bukan pelanggaran, mengapa harus menyenggol pembagian THR dan zakat di saat Ramadhan. Mungkin pembagiannya tidak dilakukan di rumah ibadah, tapi di rumah pribadi atau kantor.
Apakah hal ini tiba-tiba bisa dinyatakan melanggar UU Pemilu atau aturan lainnya? Tentu tidak, karena Bawaslu bisa saja dicap punya standar ganda dalam menentukan pelanggaran atau tidak. Atau saat yang melakukan adalah politisi dari partai pemerintah, tiba-tiba itu bukan pelanggaran. Namun saat dilakukan oleh partai lain, utamanya yang nonpemerintah atau oposisi, bisa-bisa salah dan dianggap melanggar.
Jadi, sebaiknya Bawaslu agak hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang terkait dengan Ramadhan ini. Apalagi, Ramadhan hanya satu bulan dan tidak akan begitu mengusik kelancaran Pemilu yang aturannya saja belum jelas. Partai-partai yang ikut saja masih ada yang menggugat dan diverifikasi. Terlalu jauh kalau berpikir Ramadhan menjadi ajang untuk kampanye para calon.
Yang paling utama hari ini, sistem Pemilu apakah terbuka atau tertutup, belum kunjung selesai oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Masih terjadi debat panjang atau pandangan-pandangan, meski agak terkesan ke arah tertutup. Artinya, saat harinya nanti, pemilih hanya akan mencoblos logo partai. Tanpa tahu, siapa yang akan menjadi wakilnya.
Soal imbauan Bawaslu kepada para calon anggota legislatif untuk tidak membagikan uang di tempat ibadah baik dengan modus zakat, THR, ataupun shodaqoh mungkin ada benarnya. Tapi itu soal lokasi, meski kader PDIP di Sumenep itu dinyatakan tidak bersalah. Jadi, Bawaslu harus lebih tegas lagi, atau biarkan saja terjadi. Paling cuma dua minggu lagi Ramadhan.
Apalagi katanya, yang kampanye itu adalah meyakinkan para pemilih yang disertai dengan visi misi program kerja dan citra diri, jika itu dilakukan full maka itu disebut curi start kampanye. Tapi kalau hanya salah satunya saja, itu sulit dikatakan kampanye. Siapa coba yang membagikan zakat dan THR membawa-bawa visi dan misi program, tidak ada.
Dai kondang Abdulah Gymnastiar atau Aa Gym pernah berujar, ”Tidaklah berguna uang, harta, dan kebahagiaan kita jika orang-orang disekeliling kita masih menderita karena teraniaya oleh perilaku kita.” Semoga yang membagi-bagikan uang, baik yang disebut sebagai zakat atau THR memahami hal ini. Agar semua bahagia di akhir Ramadhan tahun ini. (Wartawan Utama)