Napi Bebas tak Langsung Berpolitik

Oleh: Reviandi

Keluarnya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum karena resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Selasa (11/4) membuat heboh negeri. Banyak yang menyebut, Anas akan balas dendam kepada mantan partainya yang kini akan bertarung di Pemilu legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres).

Meski secara Kasat mata, Anas sudah dinyatakan tak akan ikut dalam Pileg atau Pilkada tahun depan, tapi masih sangat banyak para napi atau narapidana yang masih yakin bisa maju. Tak jarang, ada yang sudah sosialisasi, bermain media sosial (medsos), sampai memasang baliho atau spanduk-spanduknya. Termasuk saat Ramadhan dan jelang Lebaran Idul Fitri tahun ini.

Tapi, mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diduga siaga terhadap aksi yang akan dilakukan mantan napi. Saat ini, KPU RI tengah merancang peraturan tentang pendaftaran calon legislatif (Caleg). MK juga telah memutuskan bahwa eks narapidana menjalani masa jeda selama lima tahun untuk dapat maju sebagai Caleg.

Namun, hal ini menjadi menuai pro dan kontra. KPU di daerah-daerah masih menunggu dari KPU RI perihal penerapan aturan syarat pendaftaran Caleg  pada Pemilu 2024. Aturan itu sebagai dasar terkait mekanisme pencalonan anggota DPRD. Putusan MK itu diatur dalam PKPU dalam pencalonan DPR dan DPRD se-Indonesia.

MK menambahkan syarat masa jeda lima tahun bagi mantan narapidana yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau caleg, baik ditingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Artinya, terpidana yang baru selesai menjalani masa hukumannya tidak bisa langsung mencalonkan diri di pemilu, tetapi harus menunggu lima tahun terhitung sejak masa hukumannya rampung.

Namun demikian, aturan mengenai syarat masa tunggu ini berlaku buat mantan terpidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih.
Ketentuan tersebut dituangkan dalam Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang dibacakan dalam sidang putusan pengujian Pasal 240 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Rabu (30/11/2022).

Selain mengatur soal masa jeda 5 tahun, Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu juga mensyaratkan caleg eks terpidana mengumumkan statusnya secara terbuka ke publik mengenai statusnya sebagai mantan narapidana. Tentunya melalui media massa seperti yang dilakukan pada Pemilu sebelum-sebelumnya.

Jeda lima tahun ini bisa saja membuat peta pertarungan politik berubah. Tak ada lagi mantan napi yang baru bebas, tiba-tiba akan duduk di DPR RI sampai DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu juga diperkirakan pada Pilkada serentak 2024 yang akan membatasi pencalonan para napi yang merasa korban kriminalisasi atau politisasi di dalam surat suara. Mereka harus menunggu lima tahun, untuk merenung dan mempersiapkan diri untuk kembali ke dunia politik.

Jika Pemilu 2024 dilaksanakan 14 Februari, salah satu bakal calon anggota DPD RI dari Sumbar, Irman Gusman bisa-bisa terancam. Meski KPU Sumbar telah menetapkan mantan Ketua DPD RI itu sebagai satu dari 18 bakal calon DPD RI daerah pemilihan Sumbar memenuhi syarat dukungan pemilih. Irman harusnya sudah bisa mendaftarkan diri ke KPU saat pembukaan pendaftaran beberapa waktu lagi.

Namun, mencermati lima tahun yang dimaksud MK adalah lima tahun setelah masa tahanan bebas. Irman dinyatakan bebas dan keluar dari Lapas Sukamiskin pada September 2019 lalu. Setelah Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi impor gula itu disetujui Mahkamah Agung (MA). Artinya, Irman baru boleh kembali bertarung di Politik pada September 2024 nanti. Jadi, kemungkinan dia bisa maju di Pilkada serentak, bukan Pileg 2024.

Tentu saja hal ini masih menunggu bagaimana KPU RI mengeksekusi apa yang dimaksud oleh MK. Apakah akan saklek menggunakan lima tahun 60 bulan atau hanya tahunnya saja. KPU Sumbar juga akan bekerja keras membatalkan keikutsertaan Irman Gusman yang sudah ditetapkan sebagai peserta yang memenuhi syarat setelah verifikasi administrasi dan faktual.

Selain Irman, juga ada beberapa nama lain yang harusnya belum bisa turun gelanggang 2024 ini dan bersabar ke 2029 nanti. Mereka harus kembali mengatur strategi, bagaimana bisa memastikan suara masyarakat, meski pernah tersandung kasus pidana. Karena tidak semua warga atau pemilih bisa percaya dengan orang yang pernah dipenjara kembali ke jalur politik.

Meski di tengah-dengan kita banyak lawakan yang membedakan politisi hari ini dengan masa perjuangan. Kalau dulu banyak politisi yang naik setelah dipenjara, sekarang banyak politisi yang masuk penjara setelah menjabat. Untuk comeback atau kembali, tidak semudah itu. Di Sumbar, ada mantan Bupati Solok Gusmal yang bisa melakukannya. Dia terpilih pada Pilkada Solok 2015, usai keluar dari penjara karena kasus saat menjabat Bupati 200-2010. Gusmal bisa berpolitik kembali dalam lima tahun setelah ditahan.

Presenter dan jurnalis senior Indonesia, Najwa Shihab pernah menyebut, “Tak ada orang istimewa di penjara, karena mereka hanyalah narapidana. Walau pernah jadi pejabat, tetap saja statusnya penjahat.” Tapi apa betul semuanya penjahat, ya kita lihat saja. Berapa banyak mantan napi yang sukses mengemban tugas menjadi anggota DPR, DPR RI atau kepala daerah. (Wartawan Utama)