Oleh: Reviandi
Para bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) pastinya masih ditimpa kegelisahan menunggu seperti apa sistem pemilihan umum (Pemilu) yang akan digelar 14 Februari 2024 mendatang. Hari ini, pendaftaran telah dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai tingkatan pendaftaran, mulai 1 sampai 14 Mei 2023. Namun, belum banyak kantor KPU yang menerima pendaftaran dari partai politik.
Sepertinya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review atau uji materi sistem Pemilu sangat dinanti para Bacaleg. Putusan itu akan memberikan kepastian dalam memantapkan langkah di Pemilu 2024. Kalau tidak, tentu para politisi belum berani melangkah jauh. Takutnya sistem tertutup dipakai, dan pencoblosan tidak tergantung nomor urut. Posisi kursi pertama, kedua dan selanjutnya akan diserahkan kepada nomor urut satu, dua dan selanjutnya.
Bahkan, si pangka pun, KPU masih menunggu putusan MK terkait uji materi Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai sistem pemilu. Sementara, KPU mempertahankan sistem proporsional terbuka pada Pileg sebelum MK memutuskan uji materi tersebut. Tapi bisa saja berubah di tengah jalan dan menbuat semuanya terbengkalai.
Bagi para Caleg, utamanya yang menduduki nomor urut atas, 1 atau 2, sistem pemilihan tertutup ini sangat dinanti-nanti. Karena, ancaman dari Caleg nomor urut buncit bisa diminimalisir. Tak ada ketakutan, karena kursi yang akan diduduki di DPRD atau DPR RI tetap kepada mereka. Meski tak menyumbang suara yang signifikan pun sekalipun. Kursi telah digaransi, meski total suara juga menentukan.
Sementara bagi yang bukan pengurus atau tidak memiliki posisi tawar yang baik di partai, hanya akan mengisi nomor sepatu, atau di bawah-bawah saja. Iya kalau sistem masih sama, ada harapan jadi wakil rakyat jika suara memungkinkan. Kalau sistem terutup, alamat Cuma numpang jadi Caleg saja. Kalau yang mau jadi anggota dewan ya masih jauh. Masih jatah mereka yang punya privilege atau hak istimewa ke partai.
Satu lagi masalah yang sekarang mengambang adalah, “jual-beli” nomor urut. Bagaimana akan jual beli, kalau sistem saja belum jelas ujung pangkalnya. Banyak mantan Caleg yang menyebut, tahun 2019 dan sebelum-sebelumnya, banyak uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan nomor kecil, mungkin 1, 2 dan 3. Angkanya cukup fantastis, bisa puluhan, sampai ratusan juta Rupiah, tergantung tingkatannya.
Masa penentuan nomor urut Caleg ini adalah masa “panen” bagi orang-orang yang menguasai partai tertentu. Waktunya mengeruk uang dari orang-orang yang ingin mendapatkan nomor urut yang lebih baik. Mereka menganggap semakin kecil nomor urut, semakit besar peluang menang. Karene kecenderungan pemilih menoleh ke arah atas.
Ada juga anggapan, nomor urut kecil menjadi penegasan kalau Caleg bukan orang sembarangan. Punya posisi di partai tempatnya bernaung, dan memiliki potensi keterpelilihan yang lebih tinggi. Jadi, kalaupun harus membayar lebih mahal, itu biasa saja. Toh kalau kita tak melakukan, orang lain yang akan melakukannya.
Kegalauan para Bacaleg ini memang sedikit menyulitkan partai politik. Wajar saja, sudah tanggal 2 Mei 2023, belum banyak yang memasukkan daftar Bacaleg sementaranya ke KPU. Bahkan ada partai yang belum melengkapi siapa-siapa nama yang akan mereka majukan di Pileg 2024. Ada yang masih seleksi, wawancara, dan lain sebagainya.
Ternyata, kesiapan partai politik saat pendaftaran juga belum maksimal pula. Banyak daftar Caleg yang belum terisi penuh oleh partai. Konon lagi memenuhi kuota perempuan 30 persen, aduh alangkah susahnya. Mungkin, para pengurus parpol akan mendaftar di hari-hari terakhir penutupan jelang 14 Mei 2023 saja. Kalau tidak mendaftar, tentu tidak akan ikut pesta rakyat sekali lima tahun.
Jika yang terjadi seperi ini, sudah waktunya para pengurus parpol berbenah, Memastikan punya kader-kader militan yang bisa diadu dalam Pemilu, Pilkada atau alek demokrasi apapun. Mereka yang benar-benar memahami idelogi partai, bukan sekadar maramikan alek pengurus saja. Mereka yang benar-benar paham apa yang akan diperjuangkan melalui partai.
Bukan orang-orang oportunis yang hanya mengejar kursi, tanpa paham ideologi seperti apa yang mereka ikuti dari partainya. Hanya mencoba ikut-kutan merubah nasib dengan menjadi calon wakil rakyat. Bahkan, ada yang sampai nekat menjual harta benda demi bisa mendapatkan tiket. Tak sedikit yang akhirnya berurusan dengan rumah sakit jiwa (RSJ).
Kini, jelang penutupan pendaftaran Caleg banyak masalah yang harus dibenahi oleh KPU, partai politik dan berbagai stakeholder lainnya. Jangan terlalu bersandar kepada putusan MK saja. Mulailah instrospeksi diri, apakah yang salah dengan sistem rekruitmen partai politik. Bagaimana mendapatkan Caleg berkualitas, agar parlemen dari pusat sampai ke daerah naik kualitasnya. Jangan hanya mementingkan kursi semata, tapi yang diloloskan mereka yang sudah tiga periode berkuasa.
Memastikan para komisioner yang akan menangani alek demokrasi ini lebih baik lagi ke depannya. Mumpung saat ini masih berlangsung proses seleksi anggota KPU di tingkat provinsi dan pusat. Mereka yang akan menjaga bagaimana kualitas dari alek demokrasi lima tahunan kita. Mereka yang benar-benar independen dan tidak terpengaruh dari tokoh, partai, ataupun kekuatan manapun.
Senator dari Amerika Serikat Robert F. Kennedy menyebutkan, “Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi.” Ingatlah para calon anggota dewan dan yang sudah duduk di kantor dewan, tanggung jawab itu perlu dikuatkan betul-betul. Jangan sampai, jadi anggota dewan, SK digadaikan ke bank, lalu mencari uang untuk hidup sehari-hari. (Wartawan Utama)