Cuan Pendaftaran Caleg

UANG

Oleh: Reviandi

Saat pendaftaran calon anggota legislatif (Caleg) dimulai, ternyata banyak cerita-cerita aneh menyebar. Namun yang paling dominan adalah, banyaknya kader partai politik yang terdepak dari pencalegan dengan berbagai alasan. Yang terbanyak adalah, penuhnya kuota di daerah pemilihan (Dapil) sehingga tak memungkinkan lagi ditambah. Meski banyak yang kuota 30 persen perempuannya belum terpenuhi.

Jumat (5/4/2023) seorang kawan lama menghubungi dan bercerita, dia dikeluarkan dari daftar caleg oleh partai yang dibelanya. Alasannya, katanya dia belum masuk daftar prioritas Caleg. Tak percaya begitu saja, sang kawan terus memastikan, apa gerangan yang membuatnya terhempas. Harus terhenti mencaleg dari partai yang disanjung-sanjungnya sepanjang tahun terakhir.

Dia akhirnya menemukan, para caleg yang diloloskan, utamanya yang laki-laki ternyata membayar mulai Rp5 sampai Rp15 juta, tergantung nomor urut. Bahkan, kalau ingin berpesan nomor urut satu, bisa di atas itu harganya. Dia meradang, dan mencak-mencak ke pengurus partai, tapi percuma. Pengurus partai saat ini adalah raja yang bisa menentukan kebenaran.

Dari informasi seorang bakal caleg dari partai yang berbeda, terungkaplah angka yang bisa disetorkan kepada pengurus partai, dari daerah, provinsi sampai pusat mencapai ratusan juta. Apalagi jika ingin mendapatkan nomor urut atas seperti 1, 2 dan 3. Apalagi jelang Pemilu 2024 ini, sistem Pemilu belum jelas, apakah tertutup atau terbuka seperti 2019.

Kalau sistem terbuka, nomor urut bukanlah masalah. Nomor buncit pun bisa naik menjadi anggota dewan kalau suaranya lebih banyak dari nomor urut lainnya. Namun kalau sistem tertutup, maka yang akan melaju di kursi pertama pastinya nomor urut satu. Begitu juga di kursi kedua, ketiga dan seterusnya. Jadi, kalau sistem tertutup digunakan, harga nomor urut akan semakin tinggi.

Akan berat bagi caleg yang tidak punya modal atau logistik banyak untuk mendapatkan kesempatan menjadi anggota dewan. DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tentu akan diisi oleh para pengurus partai, atau orang-orang yang bisa menebus nomor urut dengan harga berapapun.

Pastinya itu harga yang hanya dikeluarkan untuk mendapatkan nomor urut terbaik. Belum lagi untuk kampanye, mengumpulkan massa, door to door, sampai membuat alat peraga kampanye seperti spanduk, baliho dan lainnya. Kalau mau main di medi massa, seperti cetak, online dan banyak lagi, akan mengeluarkan ongkos tambahan. Berat memang ongkos politik itu, Pemilu, Pilpres, Pilkada, sama saja.

Tapi anehnya, dengan biaya politik yang semakin tinggi, tidak menyurutkan orang untuk mendaftar menjadi Caleg. Semua seperti berebut ingin maju dan mendapatkan status sebagai anggota DPR, DPD atau DPRD. Wakil rakyat yang terhormat, setiap bulan terima gaji, tunjangan dan dana-dana lainnya yang fantastis.

Jadi, biaya yang dikeluarkan saat mencaleg dapat disamakan dengan modal jika ingin memulai usaha atau sejenisnya. Kalau terpilih, maka mengembalikan modal adalah langkah yang pertama dilakukan. Salah satunya dengan menggadaikan SK DPRD ke bank-bank yang telah antre menawarkan kredit saat pelantikan wakil rakyat. Bahkan saat pelantikan pengganti antar waktu (PAW) sekalipun.

Ketua DPRD Padang Syafrial Kani menyebut, dari 45 anggota dewan, lebih dari setengah SK-nya telah digadaikan ke bank. Jadi, mereka ada yang menerima gaji Rp500 ribu atau Rp1 juta saja per bulannya. Rata-rata, mereka yang menggadaikan SK itu, uangnya digunakan untuk membayar utang, membeli rumah atau membeli mobil.

Jika begitu, pastilah kesulitan untuk menutup biaya hidup sehari-hari. Belum lagi dana untuk konstituen, partai atau orang-orang yang berasa berjasa membantu mereka duduk di legisaltif. Untuk menutup biaya itu, diduga para wakil rakyat itu mengandalkan uang reses, kunjungan kerja (kunker) dan honor-honor lain karena keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan kedewanan lainnya.

Lalu, kemana cuan-cuan yang dikumpulkan partai politik itu pergi? Apakah betul sampai ke DPP atau pimpinan pusat? Atau hanya sekadar untuk oknum-oknum petinggi partai saja. Atau untuk biaya operasional partai. Partai yang di Indonesia kurang mendapat suntikan dana dari pemerintah. Berbeda dengan partai di luar negeri yang begitu mendapat sokongan keuangan negara.

Konon, ada oknum pejabat partai yang sangat menanti hari-hari pencalegan ini. Meski tak maju pun, semua “setoran” Bacaleg, baik yang legal ataupun haram akan dikantonginya. Tak ada uang partai yang tak diketahuinya, baik dari Bacaleg, sampai dana dari DPP dan uang dari Pemerintah Daerah (Pemda) setiap tahunnya. Jadilah, sang pengurus abadi partai ini akan “panen” ketika musim Pemilu datang.

Bagi para Bacaleg, baik kader baru atau kader lama, menyetor uang kepada pengurus partai ini seperti sudah hal yang biasa. Mereka pun akan mencari dana untuk memastikan nomor urut yang diinginkan. Ada yang akan menggadaikan harta bendanya untuk sekadar mendapatkan uang ntuk maju sebagai calon anggota dewan. Tak sedikit yang mejual dan akhirnya bangkrut setelah Pemilu selesai.

Beruntung kalau mereka terpilih, kalau tidak, alamatlah kapal hancur berantakan. Kursi dewan tak didapat, kursi di rumah tak lagi sehat. Tak sedikit yang berurusan dengan rumah sakit jiwa (RSJ) karena menderita penyakit kejiwaan. Meski sebelum mencaleg, surat-surat bebas penyakit jiwa sudah diminta ke RSJ yang sama. Sungguh, perjuangan menjadi Caleg ini tak semudah yang terlihat. Berat dan peluangnya sangat kecil.

Bayangkan, untuk satu kursi DPRD, diperebutkan oleh puluhan orang dari berbagai partai. Misal, untuk duduk di DPRD Kota Padang Dapil 1 Kototangah yang memerebutkan 10 kursi. Caleg yang akan dilawan di internal partai berjumlah 9 orang, belum lagi dari luar partai. Andai partai yang ikut jadi 20 partai, maka lawan luar partai sekitar 190 orang, ditambah dalam partai 9 orang. Berat sangat.

Direktur Prajna Research Indonesia Sofyan Herbowo mengatakan biaya untuk menjadi anggota dewan, utamanya branding politik memang tidak sedikit. Semakin rendah popularitas seseorang, biaya akan semakin mahal. Hal lain yang juga menentukan murah-mahalnya modal maju sebagai caleg adalah tingkat literasi media.

Semakin tinggi tingkat konsumsi media di suatu daerah, semakin murah biaya untuk pencalegan. Dari riset yang selama ini telah dilakukan, Sofyan menyebutkan ada biaya minimal yang harus disiapkan oleh seorang caleg saat akan menghadapi Pileg.

Adapun perinciannya sebagai berikut,Calon anggota DPR RI sebenar Rp 1 miliar-RP 2 miliar, calon anggota DPRD Provinsi Rp 500 juta-Rp 1 miliar dan  calon anggota DPRD kabupaten/kota Rp 250 juta-Rp 300 juta. Biaya tersebut minimal sekali, dan bahkan kebutuhannya bisa lebih besar dari itu. Itu adalah biaya-biaya di luar “sogokan” terhadap pengurus partai untuk mendapatkan nomor urut.

Jurnalis dan presenter kondang Najwa Shihab berujar, “Akhirnya politik menjadi soal modal, rakyat diajarkan memilih yang terkenal.” Apakah benar seperti itu, mungkin kita akan segera mengetahuinya. Apakah kita akan bungkam, atau ada berani yang membongkar dan melaporkannya. Siap siap saja. (Wartawan Utama)