Pejabat jadi Wakil Rakyat

Aneka ragam kursi kerja.

Oleh: Reviandi

Beberapa hari terakhir banyak netizen di Sumbar yang menyindir-nyindir mantan pejabat yang mencoba peruntungan menjadi anggota DPRD atau DPR RI. Bahkan ada yang terang-terangan menyebut, saat menjadi pejabat daerah saja tak becus, malah mau masuk pula ke ranah legislatif. Malah akan membuat citra wakil rakyat semakin buruk.

Apakah benar demikian, para mantan pejabat yang tidak cakap saat menjabat, akan menjadi wakil rakyat yang buruk? Pastinya belum tentu juga. Karena apa yang dilakukan ASN, baik staf sampai Sekda sebenarnya cukup berbeda dengan tugas-tugas anggota dewan. Meski sama-sama berada di bawah pemerintahan daerah, baik Kabupaten/Kota atau Provinsi.

Banyak juga mantan pejabat yang sukses saat menjadi wakil rakyat. Di Kota Padang, sejatinya cukup banyak “alumni” Pemko Padang yang menyeberang menjadi anggota DPRD Padang. Dua di antaranya sudah tiada dan punya rekam jejak bagus baik di eksekutif maupun legislatif. Bahkan bisa membuat DPRD Padang sedikit naik kelas karena pengalaman mereka sebagai pamong senior.

Pertama, almarhum Muchlis Sani yang sempat menjadi Sekretaris Kota Padang sebelum pensiun. Muchlis terpilih sebagai ketua Partai DPC Demokrat Padang 2007-2012. Tahun 2009, dia terpilih menjadi anggota DPRD Padang dari daerah pemilihan Padang Selatan, Padang Timur dan Bungus Teluk Kabung. Maklum, Muchlis adalah putra asli Seberang Padang, Padang Selatan.

Awalnya, dia digadang-gadang akan menjadi ketua DPRD Padang karena Demokrat menjadi pemenang Pemilu, menguasai 17 dari 45 anggota DPRD. Sayang, karena salah satu syarat tak dipenuhi, menjadi anggota Demokrat minimal 5 tahun, membuatnya harus merelakan kursi ketua kepada kader senior Demokrat, Zulherman.

Tanpa status ketua, Muchlis Sani cukup cakap menjadi anggota dewan. Setiap rapat dengar pendapat atau diskusi yang dihadirinya sebagai wakil rakyat, terasa berisi dan berkualitas. Wajar saja, para kepala SKPD yang datang waktu itu, kebanyakan bekas anak buahnya. Kalau tak punya modal percaya diri, ilmu dan kecakapan juga, alamat tak akan berkutik di tangan Muchlis. Februari 2013 Muchlis meninggal dunia dan belum menggenapkan pengabdiannya di DPRD Padang dalam lima tahun.

Koleganya, almarhum Azwar Siry juga tak kalah heroiknya di gedung bulek Sawahan. Meski pensiun sebagai Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah), Azwar Siry lebih dikenal sebagai mantan kepala Dinas Pendidikan. Saat menjadi anggota DPRD Padang 2009, Azwar sangat banyak berinteraksi di bidang pendidikan. Tak jarang, dia melontarkan kritik-kritik tajam soal pendidikan.

2014 dia gagal terpilih kembali. Barulah 2019 Azwar masuk ke DPRD Padang lagi dan terus berjuang membela daerah pemilihannya Nanggalo, Padang Barat dan Padang Utara. Sebagai orang Nanggalo, dia sangat dikenal vokal dalam menyuarakan aspirasi warga. April 2022, Azwar meninggal dunia dan tidak menyelesaikan lima tahun pengabdiannya. Namun, dia akan dikenal sebagai pamong yang hebat, juga wakil rakyat yang kuat.

Kalau Muchlis dan Azwar Siry bermain di tingkat lokal, baik eksekutif dan legislatif, ada nama pejabat di Sumbar yang melejit ke DPR RI di pusat. Salah satunya adalah mantan Wali Kota Bukittinggi 2000-2005 dan 2005-2010 Djufri. Dia juga adalah seorang mantan pamong atau pejabat daerah. Pernah menjadi Sekretaris Daerah Tanahdatar 19988-1996 dan Sekda Bukittinggi 1996-2000. Setelah menjadi Sekda, Djufri dipilih DPRD sebagai Wako Bukittinggi 2000-2005 didampingi Khairul Hamdi. Pilkada langsung 2005, ia terpilih sebagai Wako didampingi Ismet Amzis. Pamong lain yang juga pernah menjadi Sekda Sawahlunto, Wako Bukittinggi dan kini anggota DPRD Sumbar.

Belum genap menyelesaikan tugasnya sebagai Wako Bukittinggi, pada Pemilu 2009 Djufri maju ke DPR RI dan terpilih dari Dapil Sumbar 2 melalui Partai Demokrat. Dia juga menjadi ketua DPD Demokrat Sumbar. Ditempatkan di Komisi II yang membidangi pemerintahan, Djufri memang sangat layak. Sayang, kasus pengadaan tanah saat menjadi wali kota menjeratnya dan jadi tersangka korupsi pada 2012 dan diberhentikan dari DPR RI.

Aristo Munandar juga menjalani nasib yang kurang lebih sama dengan Djufri. Sebelum menjadi Bupati Agam 2000-2005 dan 2005-2010, Aristo adalah pamong senior yang terakhir menjabat Sekda Kota Sawahlunto. Setelah menjabat Bupati, Aristo maju ke pada Pemilu 2014 dan duduk sebagai anggota DPRD Sumbar. Sayang, pada 2019 dia “dipaksa” Partai Golkar bertarung di DPR RI Dapil Sumbar 2 dan kalah dari John Kenney Aziz, incumbent.

Aristo cukup banyak berbuat saat menjadi anggota DPRD Sumbar. Pengalamannya menjadi kepala OPD, Sekda sampai Bupati membuatnya sangat dihargai di DPRD. Apalagi, Aristo juga pernah mencoba peruntungan menjadi calon wakil Gubernur Sumbar 2010 mendampingi incumbent almarhum Marlis Rahman. Sayang, pasangan ini kalah dari lawannya, Irwan Prayitno-Muslim Kasim.

Sekilas, nampak para pejabat yang “hijrah” menjadi wakil rakyat ini adalah untuk mengisi hari tua mereka. Pensiun di usia yang sekitar 60 tahun, membuat mereka masih merasa muda. Dan belum mau begitu saja berhenti bekerja atau beraktivitas, kalau tidak ingin cepat pikun atau sakit-sakitan. Memang, di usia 60-an itu, masih banyak yang bisa dilalukan oleh para mantan pejabat.

Bahkan, para kepala daerah juga ada yang berminat melanjutkan karir mereka ke lembaga legislatif. Meski tak menutup fakta, kalau mereka menyeberang karena kalah Pilkada atau sudah dua periode. Pada tahun 2012, ada ASN/PNS dan kepala daerah yang menggugat aturan harus mundur jika mereka maju dalam Pemilu 2014. Sayang, MK memutus, PNS maupun kepala daerah yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tetap harus mengundurkan diri dengan menyatakan menggunakan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.

Hal itu setelah  MK menggelar sidang pembacaan putusan perkara No. 12/PUU-XI/2013 dan No.15/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (9/4/2013). MK dalam amar putusannya menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon pada dua perkara tersebut.

Siapakah pemohonnya? Kedua perkara tersebut dimohonkan oleh Noorwahidah dan Zainal Ilmi (No.12/PUU-XI/2013) serta Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sumatera Barat), M. Shadiq Pasadigoe (Bupati Tanahdatar), Syamsu Rahim (Bupati Solok), dan Nasrul Abit (Bupati Pesisir Selatan) selaku Pemohon Perkara No.15/PUU-XI/2013. Terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Mahkamah dalam konklusi/kesimpulannya menyatakan dalil-dalil serta pokok permohonan Pemohon No.12/PUU-XI/2013 dan 15/PUU-XI/2013 tidak beralasan menurut hukum. Mayoritas berasal dari Sumbar.

Jadi, kalau pun ada pejabat baik ASN atau kepala daerah yang maju ke legislatif, ya pensiun dulu. Kalau tidak harus mundur, jadi benar-benar dipikir. Kalau terpilih, semoga bisa menjadi wakil rakyat yang lebih baik. Karena sudah paham dengan tugas dan pokok kerja dari pejabat dan paham apa yang harus dikoreksi dari wakil rakyat.

Penulis lawas, Pramoedya Ananta Toer berujar, “Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji?” Mungkin itulah yang harus dihindari dari para pejabat pemerintah yang ingin hijrah ke dewan. Karena telah bertahun-tahun menerima gaji dari negara, jangan sampai jadi anggota dewan cuma sekadar menanti gaji bulanan saja. Yakinlah, tak akan cukup. Konstituen banyak. (Wartawan Utama)