Oleh: Reviandi
Di awal tahun 2008, Kota Solok sempat membuat catatan manis di Indonesia. Menelurkan Peraturan Daerah (Perda) Etika Pemerintahan Daerah (EPD) Kota Solok. Targetnya, para pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD Kota Solok diharapkan bisa menjaga etika berperilaku sesuai norma yang ditetapkan seiring dengan disahkannya Perda pada 23 Januari 2008.
Wali Kota Solok saat itu, Syamsu Rahim mengatakan, Perda Nomor 1 Tahun 2008 itu merupakan Perda pertama di Indonesia mengatur soal etika pejabat dan aparatur pemerintahan. Lahirnya EPD tersebut diawali keprihatinan semakin minimnya etika dan perilaku di kalangan pejabat yang kini dinilai semakin tidak sesuai norma berlaku.
Guna optimalisasi jalannya perda tersebut dibentuk Komisi Etika beranggotakan pemerintah daerah, anggota DPRD, tokoh masyarakat dan akademisi. Komisi tersebut akan melakukan pemantauan dan menerima pengaduan adanya pelanggaran etika dilakukan kalangan pejabat dan aparatur pemerintahan di daerahnya.
Bicara soal etika, hal ini kembali mencuat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Banyak kalangan, baik perorangan, ogranisasi ataupun perkumpulan lainnya yang berharap, masyarakat tidak memilih pejabat yang tak beretika. Karena harapan mereka agar partai politik (parpol) tak meloloskan mereka yang pernah terindikasi, bahkan terbukti melakukan pelanggaran etika, asusila dan sebagainya tak terealisasi.
Saat pendaftaran bakal caleg dimulai, 1 Mei sampai 14 Mei 2023 mendatang, banyak oknum-oknum incumbent DPRD dan DPR RI atau calon yang diloloskan sebagai Bacaleg oleh partai. Selanjutnya, mereka akan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan, ada yang posisinya sudah menjalani hukuman karena perbuatannya itu, sampai ada yang menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sayang, Perda EPD yang diciptakan di Kota Solok itu tak menjalar ke Kabupaten dan Kota lainnya di Sumbar. Termasuk Pemprov Sumbar. Karenanya, para pelaku kejahatan seksual, cabul, asusila sampai KDRT masih bisa bercokol di sejumlah jabatan di negeri ini. Bahkan dengan bangganya membuat baliho, spanduk dan aneka alat peraga kampanye lainnya. Meski kampanye itu sendiri masih lama, November 2023 mendatang.
Tak salah kiranya, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendorong agar terbentuknya Perda tentang etika di Provinsi Sumbar. Walaupun sebelumnya Kota Solok sudah mempunyainya. Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddiqie di Gedung DPRD Kota Padang, Minggu (24/12/2017) menyebut, ICMI masih melihat ada beberapa kekurangan. Setidaknya untuk tingkat Provinsi dia berharap juga ada Perda Etika yang lebih baik.
Kalau seandainya Perda Etika tak lagi bisa menjaga para pejabat, wakil rakyat dan calon anggota legislatif, maka hukuman rakyatlah yang akan bekerja. Mereka yang terindikasi adalah pelaku asusila, bahkan pernah heboh di tengah masyarakat dan media, tapi tetap dimajukan oleh partainya, maka rakyatlah yang akan bekerja. Jangan lagi memilih mereka yang pernah mencoreng arang di kening sendiri dan kaumnya duduk di kursi empuk wakil rakyat.
Begitu juga dengan pelaku KDRT, bahkan sudah sampai ke meja hijau, menghebohkan dan meresahkan masyarakat. Meski partainya kembali mencalonkan, jangan lagi percaya. Karena perbuatan itu akan selalu menghantui korbannya. Bahkan, si pelaku juga tidak ada jaminan tidak melakukannya di masa depan kembali.
Hari ini, para pelaku korupsi atau terpidana korupsi yang akan mencalonkan diri memang sangat dipantau oleh berbagai lembaga, seperti ICW dan lainnya. Mereka memastikan, para koruptur ini, meski sudah memenuhi syarat kembali maju, tetap jangan dipilih. Bahkan, ICW pernah merelis puluhan nama “politisi busuk” yang direkomendasikan tidak dipilih dalam Pemilu. Karena pernah tersangkut dengan kasus korupsi yang merugikan rakyat.
Namun, untuk pelaku asusila, KDRT sampai cabul belum ada organisasi atau lembaga yang fokus mengawalnya. Mereka yang lolos atau kembali diloloskan partainya dan didaftarkan ke KPU. Padahal, orang-orang seperti ini berpotensi akan kembali mencoreng nama baik lembaga legislatif yang katanya terhormat itu. Partai pun akan terimbas. Karena tak ada jaminan, mereka yang melakukannya, akan insyaf atau tidak melakukannya lagi.
Kalau menunggu lembaga atau organisasi seperti Komnas Perempuan dan Anak saja yang bertindak, mungkin hasil yang didapat belum akan maksimal. Para “predator” anak dan perempuan itu masih akan tetap dapat akses dan kesempatan menjadi pejabat negara, setidaknya wakil rakyat. Pengungkapan kasus-kasus mereka di media sepertinya belum cukup bagi KPU untuk “menolak” nama-nama pelaku cabul ini.
Baiknya KPU belajar kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dengan tegas meminta kepada semua lembaga penyiaran untuk tidak menjadikan pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sampai asusila sebagai pengisi acara atau penampil dalam semua program siaran, baik di televisi dan radio. Mengingat kemunculan para figur publik yang terindikasi sebagai pelaku KDRT dan sejenisnya, di lembaga penyiaran, akan memiliki dampak negatif terhadap usaha penghapusan KDRT di Indonesia.
Satu hal yang mungkin harus digemakan saat ini adalah pemberlakuan “hukuman rakyat” atau yang dikenal sebagai sanksi sosial. Karena, langkah-langkah yang diterapkan oleh organisasi sampai penyelenggaran Pemilu belum memihak kepada rakyat yang berharap tak ada lagi oknum-oknum “rusak” ini masuk ke lembaga legislatif. Setidaknya, menyaring, agar yang masuk adalah orang-orang yang fokus bekerja untuk rakyat, bukan untuk hal-hal negatif.
Sanksi sosial merupakan bentuk hukuman yang bertujuan memberikan rasa malu bagi pelaku yang melanggar nilai, norma, moralitas yang berlaku di masyarakat. Agar tak ada lagi pelaku yang berpura-pura tak bersalah dan tetap terlihat bahagia dengan keluarganya, tersenyum dan menyebar berbagai alat peraga kampanye jelang Pileg ini. Padahal, mereka adalah orang yang catat moral dan pelanggar nilai kebaikan. Kalau tak begitu, akan terus terproduksi orang-orang bejat yang menjadi pejabat.
Pun demikian, sanksi sosial hari ini juga bisa disebarkan melalui media sosial. Namun, ada ketakutan, mereka yang menyebarkan akan dilaporkan dan diproses hukum. Bahkan, bisa saja terkena hukuman yang lebih berat dari orang bejat yang disebarkan kelakuannya di media. Bisa memakai UU ITE, Pencemaran Nama Baik dan sejenisnya. Atau sudah memungkinkan, sanksi sosial ini dimasukkan dalam KUHP atau Undang Undang tersendiri.
Untuk masalah ini, kembali kita kutip apa yang disampaikan oleh jurnalis senior Najwa Shihab dalam episode Berburu Tahta Daerah. Dia mengatakan, “Kandidat mesti dipilih dengan kehati-hatian jangan abaikan etika dan asas kepatutan.” Asas kepatutan dan etika tetap diutamakan. Jangan lagi mereka yang tak berakhlak dan cenderung berperilaku buruk menjadi wakil kita di DPR atau DPRD. (Wartawan Utama)