Oleh: Reviandi
Siapa tokoh paling berperan dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2024? Nama-nama itu akan mengerucut ke sejumlah nama saja. Kalau untuk jagoan, ada nama Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan. Namun, selain para kandidat utama ini, ada sejumlah nama yang berada di belakangnya. Bahkan, ada yang lebih dominan dari para bakal calon itu sendiri.
Sebut saja Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang begitu dominan sampai keluarnya kepastian dukungan terhadap Ganjar. Mega, bukan orang sembarangan. Dia adalah Presiden RI tahun 2001 sampai 2004, menggantikan Abdurrahman “Gusdur” Wahid yang digulingkan MPR. Mega, adalah salah satu mantan yang cukup berperan dan menonjol jelang Pilpres 2024.
Bahkan, nama Mega sempat diapungkan kembal maju sebagai Capres, terkait “Petugas” PDIP Joko Widodo (Jokowi) yang sudah dua periode. Mega sendiri, belum pernah full memimpin Indonesia. Saat berstatus incumbent Presiden, dia dikalahkan anak buahnya Susilo Bambang Yudhyono (SBY) pada Pilpres 2004 dan juga 2009. Kesempatan 2024 mungkin baginya, meski usia yang sudah terlalu tua.
Peran Mega ini benar-benar mutlak sebagai penentu siapa yang dicalonkan PDIP. Awalnya, ada dua nama, Puan Maharani dan Ganjar. Banyak yang berspekulasi, Mega akan menjagokan Puan, karena anak kandungnya. Untuk kembali menyambung trah Soekarno dalam memimpin Indonesia. Sehari jelang Idul Fitri, 21 April 2023, Mega sendiri ternyata mengumumkan nama Ganjar. Kontestasi Pilpres sedikit berubah.
Selain Mega, ada nama mantan Presiden lain yang juga berperan dalam Pilpres kali ini, meski belum jelas titik terangnya. Ya, dia adalah SBY, mantan Presiden RI 2004-2014 yang menjagokan anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kini menjadi Ketua DPP Partai Demokrat. Tak muluk-muluk, SBY hanya ingin anaknya mendampingi Capres Anies Baswedan.
Sayang, sampai hari ini, kemungkinan AHY menjadi Cawapres Anies Baswedan tidak jelas. Dua partai koalisi, NasDem dan PKS sepertinya tidak memberikan restu, utamanya PKS. Karena PKS masih mengintai, agar Anies menjadikan kadernya Ahmad Heryawan (Aber) sebagai Cawapres. Tak adanya titik terang tiga partai koalisi ini menyebabkan isu keretakan kerap mencuat dari mereka.
Sampai-sampai, pencalonan Anies banyak yang meragukan. Karena NasDem masih belum berani menyatakan “keluar” dari partai pendukung pemerintah. Meski berkali-kali Presiden Jokowi menepikan mereka dalam berbagai pertemuan. NasDem tak seberani PAN jelang 2019 lalu yang keluar dari pemerintahan saat menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto, oposisi pemerintah saat itu.
NasDem seakan masih menyandarkan nasib mereka terhadap hubungan baik antaran Jokowi dengan Ketum NasDem Surya Paloh. Paloh sendiri, diyakini sudah memiliki komitmen dengan Jokowi, meski tak mengumbarnya ke publik. Kalau tidak, mungkin nama-nama Menteri NasDem sudah didepak dari kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang pernah mendampingi SBY 2004-2009 dan Jokowi 2014-2019 juga punya peran penting dalam Pilpres kali ini. Dia diduga menjadi orang paling kuat di belakang Anies Baswedan, sebelum Anies dideklarasikan sebagai Capres pilihan Partai NasDem. Di berbagai kesempatan, JK memang terlihat aktif dalam mengendorse Anies.
JK juga disebut-sebut sebagai salah satu “bohir” saat Anies dan Sandiaga Uno mengikuti Pilgub DKI Jakarta 2017. Beberapa bulan lalu, kemenakan JK, Erwin Aksa juga mengungkapkan bagaimana keterlibatan keluarga mereka dalam mendanai Anies. Juga terkait dengan utang Anies kepada Sandiaga Uno yang jumlahnya mencapai Rp60 miliar.
Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, JK juga memperlihatkan bagaimana perjuangannya memenangkan Anies. Dia sampai menyarankan Presiden Jokowi tidak terlibat dalam politik pada akhir masa jabatan sebagai Presiden. JK meminta Jokowi mengikuti jejak SBY dan Megawati Soekarnoputri.
Menurut JK, kedua mantan Presiden itu menghindari keterlibatan politik di akhir masa jabatannya. Jokowi dinilai terlalu ikut campur dalam urusan politik dalam jabatannya sebagai pemimpin tertinggi RI. Ini adalah respons JK terkait pertemuan para Ketua Umum (Ketum) partai politik (parpol) dalam lingkaran pemerintah Jokowi-Amin yang sebelumnya diundang ke Istana Negara.
Nah, jika Megawati, SBY dan JK terlibat dalam pencalonan Pilpres 2024 setelah mereka lengser, Jokowi disebut berperan jelang lengser. Ada yang menduga, Jokowi punya peran meminta penerusnya untuk menjalankan program-program yang telah dirancang dalam masa pemerintahannya. Utamanya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Presiden 2024-2029, diharapkan Jokowi tidak ragu dalam melanjutkan pembangunan IKN yang telah menelan biaya super besar ini. Pemindahan IKN yang sekarang kemungkinan belum tuntas di era Jokowi, akan dimaksimalkan pada era kepemimpinan berikut. Karena Anies dan tim sudah menyebut “antitesa” Jokowi, calon yang kemungkinan bisa melanjutkan ini hanyalah Prabowo dan Ganjar.
Nah, apakah Jokowi bisa disebut sebagai barisan mantan? Tentu belum. Tapi, sebagai orang yang tidak lagi bisa masuk dalam kontestasi secara langsung, Jokowi berperan sangat besar. Apakah benar Mega dan SBY tak terlibat dalam pencalonan Presiden jelang mereka lengser? Itu juga tidak benar. Mega sangat terlibat dalam pencalonan dirinya sendiri ketika masih menjabat Presiden 2001-2004.
SBY mungkin agak kurang, karena Partai Demokrat begitu diguncang prahara di periode keduanya, puncaknya Ketum Demokrat Anas Urbaningrum ditangkap Januari 2014. Persis saat SBY sedang mempersiapkan penggantinya, termasuk nama Anas Urbangingrum. Jadi, bukan SBY tak ikut campur dalam pencalonan, tapi nasibnya sedang buruk, dan partainya tak begitu berwibawa lagi.
Setidaknya, hari ini masih ada sejumlah mantan yang belum terlihat aktif dalam Pilpres 2024. Seperti Wapres 2009-2014 Boediono yang seakan tenggelam usai lengser. Namanya juga tak pernah muncul dalam Pilpres 2014 dan 2019. Seolah-olah hanya disiapkan untuk mendampingi SBY seperiode saja. Ada juga nama Wapres Hamzah Haz (2001-2004) yang tak terlalu terlibat, meski masih di lingkaran PPP. Nama lainnya, Try Sutrisno yang kerap namanya keluar saat dikunjungi para calon, pekan lalu disambangi Prabowo.
Peranan para mantan ini memang masih sangat besar dalam menentukan siapa pemimpin Indonesia ke depan. Tidak hanya di tingkat nasional, di kancah Provinsi dan Kabupaten serta Kota juga terlihat. Namun, sebagai mantan pemimpin, baiknya mereka melihat dari segi yang profesional dan baik untuk masyarakat ke depan. Bukan hanya melihat secara sepihak dan untuk kepentingan pribadi, keluarga, golongan, partai dan lainnya saja.
Jurnalis Amerika Serikat, Walter Lippman mengatakan, ”Ujian terakhir dari seorang pemimpin adalah mewariskan kepada orang-orang yang dipimpinnya keyakinan dan kemauan untuk terus maju.” Jangan sampai, orang-orang yang diwariskan kepemimpinan adalah orang-orang yang tidak memiliki komitmen dan kinerja yang baik. (Wartawan Utama)