Oleh: Reviandi
Jelang penutupan masa pendaftaran Caleg 14 Mei 2023, para pengurus partai politik (parpol) kalimpasiangan. Mendadak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam pencalegan pemilu 2024. Awalnya, pembulatan 30 persen keterwakilan perempuan dibulatkan ke bawah.
PKPU itu memang sudah disosialisasikan se-Indonesia, tapi hanya untuk partai politik semata, utamanya LO (liaison officer) atau penghubung yang dikirim partai untuk berkomunikasi dengan KPU. Awalnya, tak banyak yang begitu ngeh dengan masalah yang akan timbul karena PKPU ini. Tapi, jelang akhir-akhir penutupan pendaftaran Caleg, masalah muncul.
Misal, untuk daerah pemilihan yang kursi DPR atau DPRD-nya berjumlah tujuh orang, awalnya saat dibulatkan ke bawah, cukup diisi oleh dua orang caleg perempuan saja, sisanya laki-laki. Karena, dua Caleg perempuan itu sudah 28 persen dan dibulatkan jadi 30 persen. Artinya, tidak perlu lagi tiga orang perempuan, seperti Pemilu 2019 lalu.
Namun, dengan revisi itu, para pengurus parpol harus kembali mengisi tambahan satu orang Caleg perempuan lagi. Masalah timbul, karena harus mencari tambahan Caleg perempuan dan “membuang” satu laki-laki yang awalnya telah dimasukkan dalam daftar. Sejumlah Bacaleg laki-laki ketar-ketir, karena kemungkinan bisa terdepan dari daftar pencalegan.
Dalam kondisi ini, nama-nama bakal Caleg yang kurang kuat, apalagi bukan incumbent atau pengurus harian partai, adalah yang paling rentan didepak. Apalagi tidak punya “orang dalam” partai yang akan mempertahankannya. Bisa-bisa, harapan untuk mencaleg kandas. Diduga, “pelicin” pun mulai bermain dengan kondisi seperti ini. Penawar tertinggi akan aman.
Lain pula peliknya mencarikan tambahan satu caleg perempuan lagi. Banyak partai politik harus memodali Caleg perempuan untuk maju di Pileg 2024 ini. Jika dua orang, maka mereka harus menanggung biaya cek kesehatan yang sampai Rp1-2 juta per orang.
Belum lagi mengurus SKCK di Kepolisian, surat keterangan tak pernah terpidana di Pengadilan Negeri dan lainnya. Sudah harus dibayarkan, juga harus didampingi, karena ribet dan lama mengurusnya.
Hal ini mungkin masalah yang tak terduga oleh pengurus partai politik bahkan KPU itu sendiri. Hal itu dimulai saat banyak aktivis perempuan mendesak KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pencalegan Pemilu 2024. Mereka mengkritik pasal 8 ayat (2) aturan tersebut yang mengatur penghitungan minimal keterwakilan perempuan.
Pasal itu dinilai tak sesuai dengan kewajiban keterwakilan perempuan 30 persen dari total Caleg setiap partai. Pengesahan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 disebut menjadi ancaman penurunan keterwakilan perempuan di parlemen untuk Pemilu 2024.
Dalam klausul Pasal 8 terkait dengan persyaratan pengajuan bakal calon menyebutkan, daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap Dapil dan setiap tiga orang bakal calon pada susunan daftar bakal calon wajib terdapat paling sedikit satu orang bakal calon perempuan.
Nah, penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil yang menghasilkan angka pecahan, dua desimal di bawah nilai 50 akan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara di atas 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 248 UU 7 Tahun 2017 mengenai Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terhadapterpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Ketika dilakukan pembulatan ke bawah, berarti tidak bakal genap 30 persen. Sebagai contoh, jika jumlah Bacaleg di satu Dapil itu tujuh orang, maka hanya perlu menghadirkan dua orang Bacaleg perempuan. Artinya, representasi perempuan di Dapil tersebut kurang dari 30 persen.
Hal ini sangat berbeda dengan aturan di Pemilu 2019 yang jelas dan tegas melakukan penghitungan 30 persen di setiap Dapil yang menghasilkan pecahan, dilakukan pembulatan ke atas. Aturan pembulatan itu dinilai berisiko merugikan Bacaleg perempuan dan dapat dipastikan Bacaleg perempuan yang didaftarkan mengalami penurunan termasuk juga pada tingkat keterpilihannya.
Padahal, dengan belum putusnya ketetapan soal sistem Pemilu 2004 terbuka atau tertutup saja sudah membuat resah kaum perempuan. Sistem tertutup jika ditetapkan, akam membuat semakin menyusutnya jumlah perempuan di lembaga DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Apalagi ditambah dengan PKPU yang membuat 30 persen perempuan di pencalegan saja sudah bermasalah.
Kuota perempuan menjadi satu isu yang menarik sejak dipastikan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Partai politik peserta Pemilu diwajibkan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pada Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Begitulah sampai UU Pemilu terakhir, hal ini masih terus dipegang teguh.
Sayang, dengan kemungkinan diberlakukannya sistem proporsional tertutup, membuat perempuan akan terpinggirkan. Karena, siapa yang akan duduk di kursi DPR dan DPRD, akan ditentukan oleh pengurus partai politik saja. Masyarakat tidak mungkin bisa memastikan, ada perempuan hebat yang akan mereka dukung menjadi wakilnya di parlemen atau lembaga daerah.
Apalagi, sangat sedikit perempuan yang menjadi ketua partai baik di tingkat pusat, provinsi dan daerah. Pastinya, secara nomor urut, mereka akan sangat jarang berada di urutan satu. Dengan sistem proporsional tertutup, kalau partai hanya mendapatkan satu kursi, tentu yang akan duduk adalah nomor urut satu.
Rata-rata, perempuan akan diposisikan di nomor urut tiga. Sangat jarang dalam satu daerah pemilihan (Dapil), partai mendapatkan tiga kursi atau lebih. Dua kursi saja itu sudah dapat dikatakan menang besar. Jadi, untuk naiknya nomor urut tiga, tentu akan sangat kecil peluangnya. Karena tidak akan ada pemilih yang khusus memilik caleg, terutama perempuan.
Beruntung, usai “digeruduk” perempuan, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan pihaknya akan melakukan perubahan setelah melakukan diskusi bersama Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). KPU merespons masukan dari berbagai kalangan sepakat untuk dilakukan sejumlah perubahan dalam PKPU no 10/2023 terutama berkaitan dengan cara penghitungan 30 persen kuota perempuan.
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno pernah berkata, “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” Begitu Mr Soekarno berharap kesempatan yang sama perempuan dan laki-laki di Indonesia. Semoga begitu juga untuk kesempatan masuk ke lembaga legislative, parlemen. (Wartawan Utama)