Oleh: Reviandi
Nama Mory Dean Asli Chaidir sekarang mulai dikenal di Kota Padang. Sangat mudah mengenalinya, karena nama belakangnya cukup diingat warga kota. Asli Chaidir, adalah anggota DPR RI asal Sumbar yang basis suaranya berada di Kota Padang. Maklum, Asli pernah menjadi anggota dan Wakil Ketua DPRD Sumbar, sebelum naik kelas ke DPR RI 2014.
Di beberapa balihonya, Mory Dean sudah dikenalkan sebagai bakal calon anggota DPR RI daerah pemilihan (Dapil) Sumbar 1. Yang terdiri dari Kota Padang, Kabupaten Solok, Solok Selatan, Kota Solok, Kepulauan Mentawai, Pesisir Selatan, Padangpanjang, Tanahdatar, Sawahlunto, Sijunjung dan Dharmasraya. 11 Kabupaten dan Kota yang akan “dijelajahi” Mory Dewan dalam misinya.
Apa misinya, ya sangat jelas. Asli Chaidir mencoba “mewariskan” kursi DPR RI kepada anaknya. Sebelumnya, Asli juga sukses mendudukkan anaknya yang lain, Hendri Septa sebagai Wakil Wali Kota Padang berpasangan dengan incumbent Mahyeldi pada Pilkada 2018. Saat Mahyeldi menang Pilgub Sumbar 2020, Hendri naik kelas menjadi Wali Kota Padang sampai 2024 mendatang.
Kini, Asli mulai menyampaikan estafet kepada anaknya yang kemarin baru terpilih sebagai Ketua Pertina Kota Padang itu. Masih banyak yang belum tahu siapa Mory Dean. Namun dengan “bekal” ayah anggota DPR RI dan kakak Wali Kota Padang, ada peluang namanya muncul. Meski peluangnya tidak sebesar, andai Asli Chaidir kembali maju.
Pada Pemilu 2019 lalu, Asli Chaidir nyaris tak dapat kursi DPR. Beruntung, PAN bisa mendapatkan kursi kedua, karena yang pertama sudah sah diduduki Athari Gauti Ardi. Untuk kursi kedua ini, Asli Chaidir harus berjuang keras melawan jagoan PDIP Alex Indra Lukman. Beruntung, Asli yang duduk, meski persoalan ini cukup lama disidang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Orang yang mengalahkan Asli Chaidir sendiri, Athari juga “pewaris” dari mantan anggota DPR RI asal Sumbar Epyardi Asda. Bedanya, saat menang pada Pemilu 2014, Epyardi Asda maju dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itu adalah ketiga kalinya Epyardi duduk di Senayan dari Sumbar. 2019, dia beralih ke PAN dan maju dari Dapil DKI Jakarta, sementara anak kandungnya dari Sumbar. Epyardi gagal, Athari lolos.
Mungkin, apa yang dilakukan Asli Chaidir dan Epyardi Asdi itu bukanlah hal yang baru. Memastikan anak atau keturunannya mengamankan kursi yang ditinggalkan. Karena sudah menjadi jaminan, sang anak akan mendapatkan hidup yang kurang lebih sama dengan mereka. Sayang, untuk Pemilu 2024 ini, anak Asli Chaidir akan bertarung dengan incumbent, anak Epyardi Asda.
Dalam sejarah Sumbar, Athari bukanlah orang pertama yang menjadi anggota DPR RI setelah ayahnya. Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman yang terpilih pada Pemilu 2014 juga mengikuti jejak sang ayah, Johanes Lukman yang menjadi anggota DPR RI dari Sumbar tahun 1999. Saat itu, Pemilu masih menggunakan sistem tertutup dan partai bisa mengutus siapa saja duduk di kursi legislatif.
Sayang, pada 2019, Alex tak terpilih lagi. Dia kalah, karena Partai Gerindra dan PAN memperoleh dua kursi di Dapill 1. Empat kursi lainnya diisi Golkar, PKS, Demokrat dan NasDem. Tahun 2024, Alex dikabarkan kembali maju dari Dapil Sumbar 1. Menepis informasi yang beredar selama ini, Alex akan dimajukan oleh PDIP dari Dapil Jawa Tengah (Jateng) yang merupakan basis partai berlogo kepala banteng moncong putih itu.
Ada banyak nama lain sebenarnya yang mencoba “mewariskan” anak mereka maju ke DPR RI. Pada Pemilu 2014 lalu, Azwir Dainy Tara yang merupakan anggota DPR RI asal Sumbar tiga periode, mencoba mengkader anak-anaknya di Dapil Sumbar. Sayang, hari itu bukan keberuntungannya, jangankan anaknya, Azwir sendiri tak lagi mampu mempertahankan kursi DPR RI miliknya.
Satu keluarga yang amat identik dengan politik Sumbar adalah pasangan suami istri Emma Yohanna dan Hariadi. Emma sudah tiga periode menjadi anggota DPD RI, dan Hariadi hari ini Ketua DPW PPP Sumbar. Tahun 2019, Emma lolos ke Senayan, sementara Hariadi gagal melaju di Dapil Sumbar 2. Dia dikalahkan M Iqbal, orang Maninjau, anak kandung mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.
Hari itu, anak kandung mereka Niky Lauda Hariyona juga maju dari PPP Dapil Sumbar 1. Sayang, kursi yang ditinggalkan Epyardi Asda itu tak bisa diamankan oleh Niky. Tahun 2024, Emma, Hariadi, Niky disebut-sebut akan kembali maju dari posisi-posisi yang sama seperti Pemilu sebelumnya. Ditambah anak mereka yang lain, Erick Hariyona maju ke DPRD Sumbar dari Dapil Pasaman dan Pasaman Barat. Partainya, Golkar, karena Erick saat ini menjadi Bendahara DPD Golkar Sumbar.
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan apa yang dilakukan para politisi Sumbar itu. Apalagi, mereka tidak bisa mengatur agar anaknya terpilih atau dipastikan menduduki kursi dewan. Semua harus berjuang mendapatkan simpati rakyat yang berujung kepada suara dan terpilih. Bagaimanapun mengendorse sang anak, kalau rakyat tak memilih ya percuma. Karena, banyak yang gagal ketimbang berhasil dalam mendapatkan atau mewariskan kursi itu.
Mungkin anak-anak para anggota DPR atau mantan anggota DPR RI itu sedikit diuntungkan karena punya privilege soal basis suara, anggaran, kolega dan juga jaringan. Selain itu, mereka juga harus bekerja keras untuk memastikan suara itu benar-benar sampai ke kertas suara. Tidak sekadar halo-halo tak menentu saja, dan saat pencoblosan, tak ada suara yang sampai ke namanya.
Meski, apa yang diupayakan ini sama dengan membangun politik dinasti yang sebenarnya menjadi kesepakatan untuk diberantas saat era reformasi 1998. Saat jabatan politis lebih mudah didapat kalau punya kolega pejabat, saudara pejabat, anak pejabat dan lainnya. Yang ujung-ujungnya membuka gurita bisnis putra-putri Presiden Soeharto.
Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. Sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Namun, dengan sistem demokrasi, dinasti politik mengharuskan pelakunya memiliki modal yang besar, baik pengaruh, uang dan lainnya.
Sejatinya, dinasti politik harus dilarang oleh negara. Karena memicu kecemburuan dan ketidakadilan bagi semua masyarakat. Namun sayang, belum ada tanda-tanda aturan yang melarang dinasti politik ini. Misal, anak kandung dilarang didaftarkan di Dapil yang sama pada periode berikutnya. Harus ada “jeda” minimal satu periode Pemilu.
Kalau tidak, pastinya wakil rakyat ini akan menjadi jabatan turun temurun dari generasi ke generasi. Akan menyulitkan bagi nama-nama baru untuk maju, apalagi jika sistem Pemilu dikembalikan tertutup. Mereka yang aka ditunjuk partai, tentu mereka yang kenal, atau punya kedekatan dengan pengurus partai saja. Dinasti politik, meski ada positifnya, tetap banyak negatifnya.
Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32 pernah mengatakan, “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu.” Jadi, bagi yang tak setuju politik dinasti seperti ini terus berlanjut, maka rencanakan dengan baik bagaimaan menumbangkan para pelaku ini. Jangan pernah manut atau manggut-manggut saja dan melanggengkannya. (Wartawan Utama)