Oleh: Reviandi
Setiap kontestasi politik datang, di situlah banyak orang yang mencoba mencari peruntungan. Baik itu uang, jabatan, kekuasaan, sampai hanya kebanggaan semu sebagai seorang yang membantu sang calon. Di Sumbar, ada “pekerjaan” yang rutin bisa dilakukan saat Pemilu, Pilpres, Pilkada, sampai pemilihan wali nagari sekali pun. Modal tak banyak, tapi uang yang dihasilkan bisalah untuk bertahan sampai ada alek berikutnya.
2024 jelas sebuah peluang besar bagi para tukang olah untuk beraksi. Tapi, siapakah tukang olah itu sebenarnya dan bagaimana pekerjaannya. Sehari-hari, sangat jarang orang yang benar-benar menjadi tukang olah untuk hidupnya. Pasti ada pekerjaan utamanya, meski untuk mendapatkan cuan, jadi tukang olah yang paling tokcer. Sekali musim, bisalah untuk beli ini dan itu, menabung sedikit.
Tukang olah itu banyak ragam dan latar belakangnya. Yang pertama tentu orang internal partai politik. Mereka yang tahu apa yang terjadi di internal partai, dan bisa mengolah orang lain untuk masuk ke partainya. Oknum internal partai memang mudah ditemukan. Dia seperti pintu masuk untuk mendapatkan mandat atau dukungan salah satu partai.
Jika tepat mencari orang internal partai, maka selamat dan amanlah langkah untuk Pemilu, Pilkada dan sejenisnya. Kalau salah, alamatlah kapal karam sebelum berlayar. Yang tukang olah berjaya, yang dia malah sengsara. Tak jarang gigit jari saat orang lain berlabuh, dia yang tenggelam. Tukang olah internal ini, tak segan-segan menjual nama ketua partai, dari tingkat pusat sampai yang terendah. Yang penting target mau keluar uang.
Tukang olah ini terus bergerak, meski para Bacaleg telah didaftarkan ke KPU. Nomor urut, menjadi salah satu poin yang dijual atau dijanjikan. Karena, masih ada peluang pergeseran nomor urut, dari daftar caleg sementara (DCS) ke daftar caleg tetap (DCT). Tukang olah yang masih merasa kalah sebelum pendaftaran Bacaleg, kini bisa menagih lebih keras.
Jika orang internal partai bisa meraup cuan dari pencalegan atau penetapan calon Pilkada, jangan salah, orang yang di luar partai juga bisa. Apalagi, mereka yang merasa dekat dengan pimpinan partai di semua tingkatan. Mereka bisa menawarkan pencalonan seseorang, meski tak berlaber kader partai. Bahkan, kadang kuasanya juga lebih hebat dari orang dalam itu sendiri.
Biasanya, orang nonpartai bisa berkolaborasi dengan orang dalam partai, utamanya pengurus atau pemegang keputusan. Apalagi mereka yang biasa menjadi “makelar” uang mahar atau keuntungan kepada para pengurus partai. Tukang olah nonpartai ini tak sepenuhnya benar. Banyak juga yang hanya “tembak atas kuda” yang artinya, hanya untung-untungan. Kalau yang dia pura-pura bantu lolos, maka dapat imbalan. Kalau tidak, ya tidak ada konsekuensi apa-apa.
Jangan salah, orang-orang yang mengaku tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan sejenisnya, kadang hanyalah tukang olah semata. Mereka mungkin saja memang tokoh, tapi untuk membantu seseorang caleg atau calon kepala daerah meraup suara yang banyak belum tentu bisa atau mau. Kalau pun bisa, belum tentu mereka mau. Kalau mau, belum tentu bisa.
Ada peluang, para tokoh ini memanfaatkan ketokohan itu untuk mengolah seseorang dan mendapatkan imbalan. Sayang, mereka kadang tidak hanya membantu satu orang saja. Tapi membantu semua yang datang, dengan harapan bisa mendapatkan uang yang lebih banyak. Yang jelas, siapa yang merapat, mereka akan beri masukan, nasehat, dan dukungan.
Soal siapa yang akan dia pilih nanti, oknum-oknum tokoh ini tak terlalu peduli. Yang jelas, dia memanfaatkan ketokohan untuk mendapatkan kepercayaan si calon, bukan pemilih. Kalau toh nanti hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan calon, si tokoh bisa berkilah. Ada sesuatu terjadi, sehingga calon yang didukungnya tak mendapatkan suara signifikan. Kalau menang atau duduk, si tokoh akan di baris depan mendapatkan imbalan.
Ada wartawan yang bisa beftranformasi menjadi tukang olah saat musim politik datang. Ada yang sekadar hanya untuk memenuhi target berita dari kantor redaksinya, ada yang ingin mendapatkan cuan sesuai perintah perusahaannya, ada juga yang benar-benar sudah menjadi tukang olah “profesional.” Memang, pekerjaan wartawan kadang membutuhkan skill mengolah yang tinggi, mulai dari narasumber orang biasa, sampai pejabat baik sipil dan militer.
Tak jarang, ada juga wartawan yang dilengkapi dengan skill memastikan seseorang bisa terpilih atau tidak terpilih. Menyebutkan beritanya bisa membuat seseorang mendapatkan apa yang diinginkan, atau kehilangan yang diimpikan. Tukang olah versi wartawan ini cukup banyak terlihat saat musim Pemilu tiba. Mereka bahkan bisa berada di hampir semua pihak, baik yang berseteru atau tidak punya keterikatan satu sama lain.
Wartawan yang tukang olah memang ada, tapi juga ada wartawan yang diolah oleh para kandidat. Ada wartawan yang harus nombok iklan atau pariwara berisikan “kampanye” ke perusahaannya. Apalagi kalau dijanjikan dibayar setelah pengumuman hasil. Jika kandidat kalah, amat jarang yang mau menyelesaikannya. Bahkan bisa meruncing kemana-mana, minimal perang di media sosial (medsos).
Yang paling ramai hari ini adalah tukang sorak atau orang yang mau berteriak-teriak menjagokan seseorang. Selain bersorak, mereka biasanya juga mengolah para kandidat ini. Namun, tipikal tukang sorak ini tak perlu dana banyak. Mereka hanya perlu cuan untuk sekadar penyambung hidup. Tapi, tak jaminan sorakan itu hanya untuk satu urang atau kelompok, tapi kepada siapa yang membayar saja.
Tukang olah yang mungkin lebih elegan adalah para pekerja survei atau konsultan politik. Kalau mereka bukan tukang olah, tentulah “galeh” tak laku dan para kandidat tak melirik mereka. Apalagi lembaga survei yang belum memiliki nama atau tokoh/penelitinya yang belum ternama. Mengolah calon adalah langkah yang paling jitu untuk mendapatkan cuan di musim Pemilu.
Akademisi pun ada yang menyamar menjadi tukang olah dalam kontestasi seperti ini. Tapi sifatnya mungkin hanya pasif. Dijadikan oleh orang-orang politik, partai atau kandidat untuk mengendorse sesuatu. Yang penting, obrolan akademisi ini bisa dijual dan meningkatkan nilai sang calon. Tapi, ada juga oknum akademisi yang aktif dalam mencari cuan dengan mengolah kandidat-kandidat yang masih belum dipegang konsultan politik.
Sebagai akademisi, yang bisa dikerjakan dalam menambah uang masuk adalah menjadi konsultan, atau menawarkan survei kepada para kandidat. Butuh gaya olahan yang kuat agar kandidat bisa ikut apa yang disarankan para akademisi itu. Akademisi tukang olah mungkin tak banyak, tapi ada saja di setiap kampus. Bahkan ada yang benar-benar menempel dengan para pejabat daerah, baik secara terbuka atau diam-diam.
Itulah yang selalu terlihat kalau baliho, spanduk dan poster-poster kandidat sudah bertebaran di daerah-daerah, dari kota sampai ke desa. Dari daerah sampai ke pusat. Belum lagi muncul tukang olah advertising dengan berbagai penawaran luar biasa mereka. Tak akan surut menawarkan, sampai sang kandidat memasang di tempatnya. Yang jelas, ada cuan yang bisa dibagi-bagi setiap musim datang.
Meski para tukang olah ini berkeliaran, semoga mereka ingat kata-kata pendiri Facebook Mark Zuckerberg, “Jika kita ingin mendapatkan pengaruh terbesar, cara terbaik untuk melakukannya adalah memastikan kita selalu fokus pada penyelesaian masalah yang paling penting.” Jangan sampai tukang olah malah merusak alek demokrasi yang kita ingin bernuansa badunsanak. (Wartawan Utama)