Badai Politik

Kantor KPU Sumbar

Oleh: Reviandi

Badai politik. Mungkin kata yang belum terlalu ramah di telinga kita. Badai dalam KBBI berarti angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64-72 knot. Kenapa pula badai dikait-kaitkan dengan politik. Karena politik itu sendiri punya banyak arti dalam kamus.

Politik berarti pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain atau cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).

Jadi, badai politik jika dikaitkan dengan Pemilu di Indonesia? Suatu kejadian yang melibatkan tokoh utama partai politik yang bisa berdampak buruk kepada partai politik itu sendiri. Bahkan, bisa mengakibatkan hancurnya sebuah partai. Dan itu sudah berkali-kali terjadi di Indonesia.

Salah satunya yang terjadi kepada Golkar 1998 saat reformasi. Partai yang selalu menang Pemilu sejak era Orde Baru itu terhempas ke peringkat kedua. Saat Pemilu 1999, Golkar hanya mendapatkan 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding 1997. Pemenangnya adalah PDIP meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. PKB peringkat tiga dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, 51 kursi.

Menilik Pemilu terakhir Order Baru, Partai Golkar mendapatkan 84.187.907 suara atau 74,51 persen dengan 325 kursi di DPR. Disusul Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 25.340.028 suara atau 22,43 persen dan mendapatkan 89 kursi DPR. Di posisi buncit malah ada PDI dengan 3.463.225 suara atau 3,06 persen dengan 11 kursi.

Badai politik Golkar ini tak main-main. Ikon utama Golkar Presiden HM Soeharto berhenti pada Mei 1998 dan digantikan Wakil Presiden BJ Habibie. Habibie yang sebenarnya juga jadi kader Golkar, tak mampu menyelamatkan partai ini di parlemen dan juga harus “hilang” dari peredaran calon Presiden. 20 Oktober 1999 Abdurahmad “Gusdur” Wahid dilantik jadi Presiden dan menandai hilangnya dominasi Golkar di Indonesia. Gusdur adalah ikon dan pendiri PKB.

Menariknya, meski kembali diterpa badai saat Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung dijadikan tersangka kasus Bulog tahun 2003, tak membuat Golkar limbung. Secara logika, badai politik kali ini harusnya membuat Golkar terpuruk. Tapi yang terjadi, Golkar malah bisa memenangkan Pemilu mengalahkan PDIP dan partai lainnya.

Pemilu kedua setelah reformasi itu, Golkar memeroleh 24.480.757 suara atau 21,58 persen dan menguasai 127 kursi DPR. Posisi kedua, PDIP dengan 21.026.629 suara atau 18,53 persen dengan 109 kursi DPR. PKB kembali mendapati posisi ketiga dengan 11.989.564 suara atau 10 persen dengan 52 kursi DPR. Sesuatu yang tak membuat “logika” banyak orang tembus, karena seharusnya Golkar habis.

Badai politik yang cukup kuat menghancurkan partia politik itu terjadi kepada Partai Demokrat. Pascaketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum didakwa atas tindak pidana korupsi (Tipikor) pembangunan Wisma Atlet Hambalang Februari 2013. Tidak hanya Anas, sejumlah petinggi Demokrat juga terseret kasus itu dan mendekam di penjara. Demokrat yang akan “melepas” Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah 10 tahun menjadi Presiden kebingungan. Pemilu 2014 di depan mata.

Hasilnya, Partai Demokrat turun ke rangking 4 setelah Pemilu 2009 menjadi juara. Suara Demokrat hanya tinggal 12.728.913 atau 10 persen saja dengan 61 kursi DPR. Tertinggal jauh dari PDIP yang mencapai 23.681.471 (18,95 persen) dengan 109 kursi DPR, disusul Golkar 14.760.371 suara (14,75 persen) 91 kursi DPR dan Gerindra yang melejit mendapatkan 14.760.371 suara (11.81 persen) dengan 73 kursi DPR.

Padahal, Pemilu 2009, menjadi puncak kejayaan Partai Demokrat dengan mendapatkan 21.703.137 suara atau 20,85 persen dengan 148 kursi DPR. Unggul atas Golkar yang mendapatkan suara 15.037.757 suara atau 14,45 persen dengan 106 kursi DPR. Di nomor tiga ada PDI P dengan 14.600.091 atau 14.03 persen dengan 94 kursi DPR.

Setelah badai besar di 2013 itu, Demokrat sampai hari ini belum pulih dari keterpurukan. Apalagi, sudah dua kali Pemilu PDIP menguasai Indonesia dan menempatkan kadernya di kursi Presiden. 2024 mungkin menjadi harapan bagi Demokrat dengan ikon baru, Agus Harimurti Yudhoyono (AH) sebagai  Cawapres.

Anak SBY ini sekarang menjadi ketua umum Demokrat dan telah menyatakan mendukung Anies Baswedan sebagai Capres. Hasil survei Litbang Kompas beberapa hari lalu juga telah memberikan kabar bahagia bagi Demokrat yang menempati posisi tiga dengan 8 persen. Unggul dari Partai Golkar di posisi ke empat yang hanya 7,3 persen. Nilai ini sebenarnya tak beda jauh dengan hasil Pemilu 2019 yang memberikan Demokrat 10,8 juta suara, 7,7 persen dan 54 kursi DPR.

Partai lain yang juga pernah terkena badai politik adalah PKS, ketika Presiden PKS Lutfi Hasan Ishak (LHI) dijadikan tersangka kasus suap impor daging sapi Januari 2013. Menariknya, bagi PKS, kasus ini tidak terlalu berdampak kepada peroleh suara mereka. Badai politik tak membuat pemilih PKS berkurang, malah bertambah.

Pada Pemilu 2014, PKS masih mendapatkan 8.480.204 suara atau 6,79 persen dengan 40 kursi DPR. Sedangkan pada 2009, PKS mendapatkan 8.206.955 suara (7,88 persen) atau 57 kursi suara. Meski suara secara umum naik, PKS kehilangan 17 kursi di parlemen. Jika 2009 mereka menduduki posisi keempat, 2014 terjun ke posisi 7.

Partai yang pernah mengalami badai politik ganda adalah PPP jelang Pemilu 2019. Juli 2015, Menteri Agama yang juga Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (SDA) ditetatapkan KPK sebagai tersangka dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013 di Kementerian Agama. Sedangkan sebulan jelang Pemilu 17 April 2019, KPK menetapkan Ketum PPP Romahurmuziy sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam seleksi jabatan di Kementerian Agama 16 Maret 2019.

Bagaimana dengan suara PPP yang sebenarnya sudah terus menurun dari Pemilu ke Pemilu. Badai politik PPP ini membuat suaranya berkurang sekitar 2 juta pemilih. Pada Pemilu 2014, PPP mendapatkan 8.157.488 atau 6,53 persen dengan 39 kursi parlemen. Sedangkan 2019 turun menjadi 6.323.147 suara atau 4,52 persen dengan hanya 19 kursi di DPR. Banyak lembaga survei yang menyebut PPP tak akan lolos parliamentary threshold (PT) sebesar 4% pada 2024.

Badai politik telah menghempaskan partai politik, apalagi yang tersangkut adalah ketua umum atau ikon partai. Jelang Pemilu 2024, sudah lima kader parpol yang ditangkap KPK saat menjadi Menteri. Mereka adalah, Idrus Marham dari Partai Golkar menjadi tersangka KPK karena terlibat korupsi proyek pembangunan PLTU Riau-1 sebelum menjabat sebagai Menteri Sisial (Mensos).

Imam Nahrowi (PKB) ditangkap saat menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) pada kasus penyaluran dana hibah KONI September 2019. Edhy Prabowo (Gerindra) ditangkap KPK saat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP) terkait kasus suap impor benur.  Lalu ada Juliari Batubara (PDIP), Mensos karena kasus bansos.

Teranyar Johhny G Plate dari Partai NasDem ditangkap dan ditahan karena dugaan terlibat korupsi pada Rabu 17 Mei 2023 oleh Kejaksaan Agung. Johhny merupakan Sekjen Partai NasDem yang diduga mengakibatkan kerugian negara Rp8 triliun. Jumlah yang sangat besar dibanding dugaan kerugian negara pada kasus lain.

Kita lihat saja, apakah penangkapan lima Menteri dari partai yang berbeda ini juga akan menjadi “badai” politik bagi parpolnya 2024? Atau malah tidak ada pengaruhnya. Semoga para petinggi partai sampai para kadernya bisa mengingat pesan Konfusius, filsuf dari Tiongkok, “Kemenangan sejati bukanlah karena kamu tidak pernah kalah, namun karena kamu sanggup bangkit kembali setiap kali kamu jatuh.” Kalau ada kader yang korupsi itu dianggap kalah atau jatuh, ya segeralah bangkit. (Wartawan Utama)