SBY terus Bereaksi

Oleh: Reviandi

Mendekati Pemilu dan Pilpres 2024, Presiden Indonesia 2004-2009 dan 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semakin sering terlihat di media. Banyak yang menyebut, Pak Beye turun gunung, namun pastinya tidak untuk menjadi calon Presiden. Dua hal yang sedang dikawal adalah Partai Demokrat dan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dijagokan menjad Capres atau Cawapres.

Dua hari terakhir, ada dua hal yang membuat SBY muncul ke publik. Pertama, soal Mahkamah Konstitusi (MK) yang disebut akan mengembalikan sistem Pemilu legislatif ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai. Selanjutnya, info liar lagi soal Mahkamah Agung (MA) akan mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko terkait kepengurusan DPP Partai Demokrat.

Dua hal ini, memang tidak bersentuhan langsung dengan SBY sebagi mantan Presiden dan mantan ketua umum Demokrat. Tapi, karena bersentuhan dengan partainya, maka Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat ini kembali bereaksi. SBY memang kerap muncul di media setahun terakhir, ya karena dua hal ini. Namun kadang, reaksinya seperti terkesan berlebihan dan menjadi pro dan kontra.

Bagi mantan politisi Demokrat yang “bubar” setelah Anas Urbangingrum ditangkap 2013, kemunculan SBY ini membuat mereka seolah-olah mendapat panggung. Banyak yang memberikan pengakuan-pengakuan aneh, terkait dengan statemen-statemen SBY yang muncul di media. Pastinya, itu tak menyurutkan semangat SBY dalam membela hak-hak rakyat, partainya dan juga anak-anaknya.

Soal sistem Pemilu terbuka yang digugat jadi tertutup, SBY yakin hal itu akan menimbulkan chaos atau kekacauan politik. Katanya, Denny Indrayana adalah mantan Wamenkumham dan ahli hukum yang kredibel. Karenanya, SBY tergerak memberikan tanggapan tentang sistem Pemilu yang akan diputus MK.

Jika yang disampaikan Denny benar, hal ini akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia. Dia pun mempertanyakan urgensi pergantian sistem Pemilu. Pertanyaan pertama kepada MK, apakah ada kegentingan dan kedaruratan sehingga sistem Pemilu diganti ketika proses Pemilu sudah dimulai? Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan ‘chaos’ politik.

Pertanyaan kedua kepada MK, benarkah UU sistem Pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi? Sesuai konstitusi, domain dan wewenang MK adalah menilai apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi, bukan menetapkan UU mana yang paling tepat, sistem Pemilu tertutup atau terbuka. Kata SBY, MK tidak memiliki argumentasi kuat bahwa Sistem Pemilu Terbuka bertentangan dengan konstitusi sehingga harus diganti. Maka rakyat akan sulit menerimanya.

Ketiga, kata SBY, sesungguhnya penetapan UU tentang sistem Pemilu berada di tangan Presiden dan DPR, bukan di tangan MK. Mestinya Presiden dan DPR punya suara tentang hal ini. Mayoritas partai politik telah sampaikan sikap menolak pengubahan sistem terbuka menjadi tertutup. Ini mesti didengar.

SBY yakin, dalam menyusun DCS, Parpol dan Caleg berasumsi sistem Pemilu tidak diubah, tetap sistem terbuka. Kalau di tengah jalan diubah oleh MK, menjadi persoalan serius. KPU dan Parpol harus siap kelola ‘krisis’ ini. Semoga tidak ganggu pelaksanaan pemilu 2024. Kasihan rakyat.

Sedangkan soal MA, awalnya  muncul dari ahli hukum tata negara, Denny Indrayana, melalui akun Twitternya, Minggu (28/5/2023). Denny menyebutkan bahwa dikabulkannya PK tersebut diduga ditukar dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA.

SBY mengatakan, dia kerap mendapatkan kabar serupa dari politikus senior di luar Demokrat. Pesan seperti ini juga kerap saya terima. Jangan-jangan ini serius bahwa Demokrat akan diambil alih. Menurut pandangannya, PK Moeldoko atas Partai Demokrat akan sulit dikabulkan karena Moeldoko telah kalah di pengadilan sebanyak 16 kali.

Namun, apabila kabar dari Denny Indrayana benar, dia menduga ada pihak yang berniat mengganggu keikutsertaan Partai Demokrat di Pemilu 2024. Kalau ini terjadi, info adanya tangan-tangan politik untuk ganggu Demokrat agar tak bisa ikuti Pemilu 2024 barangkali benar. Ini berita yang sangat buruk. SBY berharap pemegang kekuasaan tetap amanah dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab, Indonesia bukan negara predator, di mana pihak yang kuat akan ‘memangsa’ pihak yang lemah.

Apa yang membuat SBY terus bereaksi? Apakah post power syndrome atau sindrom karena tak lagi berkuasa? Mungkin salah satunya itu, tapi persentasenya tidak begitu besar. SBY pastinya merasa, apa yang terjadi hari ini karena bisa membahayakan warisannya dalam bentuk partai, atau kesempatan anak kandungnya untuk mengikuti Pilpres 2024. Sebagai mantan orang nomor satu di negara ini, SBY tak akan mau apa yang diwariskanya hancur berantakan, apalagi karena diduga dikerdilkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

SBY sebelumnya kerap tampil dengan berita-berita ringan sedang bernyanyi, melukis dan agenda-agenda pensiunan kebanyakan. Itu pun ramai dibahas di media sosial, meski lebih dominan yang bernada negatif. SBY sepertinya telah menjadi seorang pejabat yang telah purnabakti dan menikmati masa-masa tuanya. Tapi ternyata itu cuma sementara, dia kembali dan muncul dimana-mana.

SBY seperti film Rambo terakhir yang dibintangi Sylvester Stallone dengan judul Rambo: Last Blood 2019. Saat John J Rambo kembali harus turun gunung menyelamatkan kemenakannya yang disandra oleh mafia narkoba di Meksiko. Tanpa ragu, Rambo turun dan menghabisi semuanya. Bahkan yang kembali menyerang ke rumahnya, satu per satu juga dihancurkan.

Apakah SBY juga merasa kalau anaknya sedang dalam bahaya dan harus turun tangan atau tidak, itu menarik sebenarnya. Bagaimanapun, SBY adalah Presiden yang sangat dicintai rakyat. Menang Pilpres 2004 melawan Megawati yang saat itu incumbent, SBY kian mendapat sambutan rakyat. Tak heran, 2009 dia menang besar kembali melawan Megawati dan juga mantan Wapresnya, Jusuf Kalla (JK).

SBY akan terus mengawal apa yang terjadi di negeri ini. Bahkan, pekan lalu dia menerima menerima kunjungan Prabowo Subianto di Pacitan, Jawa Timur (20/5/23). Kunjungan itu adalah rangkaian kunjungan Prabowo dengan berbagai elite militer. Sebelumnya, Prabowo telah mengunjungi Hendropriyono, Wiranto, Widodo AS, dan Try Sutrisno. Kunjungan itu bentuk usaha Prabowo mendapatkan dukungan dari elite atau faksi militer tertentu.

Meski anaknya disebut lebih dekat menjadi Cawapresnya Anies Baswedan, SBY tak canggung menerima Prabowo dari Gerindra yang telah berkoalisi dengan PKB. Pastinya, poin-poin yang dibahas SBY dan Prabowo terkait dengan sistem Pemilu dan kemungkinan putusan MA yang akan “menyerahkan” Partai Demokrat ke Moeldoko. Kita tak tahu, kalau benar SBY minta ini jadi perhatian Prabowo, kira-kira apa yang akan dibahasnya.

Kita tunggu saja, apa yang akan dilakukan Pak Beye selanjutnya. Apakah bisa menjadi landasan untuk MK tak menerima gugatan sistem Pemilu dan membuatnya tetap terbuka. Apakah Demokrat masih akan menjadi haknya SBY dan anak-anaknya, atau menjadi milik Moeldoko. Seperti kata SBY, “Bangsa yang akan bertahan dan bahkan berhasil di masa depan adalah bangsa yang adaptif dan inovatif. Bangsa yang berkarakter demikian tentu tidak bersikap dogmatis dan menutup diri dari perubahan dan pembaruan.” Apakah pesan ini sudah sampai ke pemerintah dan kita semua? Kita lihat saja. (Wartawan Utama)