Tertutup, Ramai Caleg Ancam Mundur

Gedung Makhamah Konstitusi (MK)

Oleh: Reviandi

Semakin kencangnya isu Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan gugatan segelintir orang terkait sistem Pemilu, membuat alek demokrasi 2024 terancam. Jika MK menyatakan sistem Pemilu menjadi tertutup, maka akan banyak calon anggota legislatif (Caleg) yang mengundurkan diri. Pastinya mereka yang tidak dapat nomor urut 1.

Informasi itu sudah banyak beredar di kalangan partai politik, baik di tingkat Kota/Kabupaten, Provinsi ataupun pusat. Bahkan, dari berbagai diskusi para Caleg, mereka memastikan diri akan mundur, andai sistem hanya menguntungkan kepada pemilik nomor urut atas saja. Seperti yang terjadi pada Pemilu 2004 silam, sebelum diubah MK 2009. Percuma bekerja keras, tapi harapan duduk di legislatif nol.

Kabar sistem tertutup itu dikuatkan oleh statemen mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Dia menyebut, MK akan memutuskan perubahan sistem menjadi tertutup. Ia yakin dengan kabar itu karena menerima informasi dari pihak yang tepercaya. Informasi Denny ini juga langsung menghebohkan negeri, sampai Presiden Indonesia 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono pun bereaksi keras.

Kawan saya, seorang Caleg dari salah satu partai di Kota Padang mengaku sudah mempersiapkan surat pengunduran dirinya kalau sistem tertutup. Dia merasa yakin, pilihan mundur sangat tepat. Karena tidak ada harapan menjadi anggota Dewan, dan hanya akan menjadi “kudo palajang bukik” dari Caleg yang di nomor atas saja.

“Kalau sistem kembali ke zaman baholak, saya mundur saja. Sudahlah, tak ada lagi kemungkinan jadi anggota Dewan. Apalagi saya bukan pengurus atau petinggi partai, cuma lolos seleksi orang luar saja. Ya tahu diri saja, Pemilu 2024 bukan lagi pesta rakyat, tapi pesta partai politik,” katanya menggerutu dalam pertemuan Sabtu sore.

Dia juga menyebutkan, tidak hanya orang eksternal partai saja yang akan mundur. Pengurus partai, bahkan calon incumbent yang mendapatkan nomor urut tiga ke bawah juga akan hengkang. Untuk mendapatkan tiga kursi di satu daerah pemilihan (Dapil) sangat sulit. Untuk partai tertentu, mungkin bisa meraih dua kursi, itupun peluangnya berat dengan semakin banyaknya partai.

Kalau benar, orang eksternal partai sampai “petugas” partai pun akan ramai-ramai mundur, bakal seperti apa Pemilu 2024 mendatang. Pemilu yang tidak punya kekuatan dan hanya seremonial belaka. Kembalilah kita kepada Pemilu sistem lama yang tidak dinikmati rakyat.

Andai saja MK memutuskan sistem Pemilu tertutup setelah disahkannya daftar Caleg tetap (DCT), maka Pemilu akan semakin semrawut dan sepi. Karena, partai politik tak lagi bisa mengubah daftar Caleg mereka. Para Caleg juga tak bisa lagi mengundurkan diri. Akibatnya, mereka memang tak mundur, tapi juga tak akan berpartisipasi dalam Pemilu.

Selain KPU, para Caleg juga sangat berperan dalam menyosialisasikan Pemilu dan menyukseskannya. Sayangnya, meski telah terdaftar resmi dalam DCT dan masuk dalam surat suara, mereka tidak akan melakukan apa-apa. Diam saja, karena namanya tak bia diubah lagi.

Karena, para Caleg yang sudah masuk dalam DCT ini sesuai peraturan yang diamanatkan dalam Pemilu legislatif tidak bisa diganti oleh partai politik pengusung, apalagi mengundurkan diri. Caleg bisa dicoret dari DCT jika  meninggal dunia atau tersandung masalah pidana yang sudah ada putusan tetap.

Nah, terbayangkan, bakal seperti apa Pemilu 2024 kalau ini terjadi. Apakah MK masih juga akan membuat sistem tertutup, meski terbuka sebenarnya juga punya banyak kelemahan. Bukan serta-merta terbuka sangat baik, tapi sementara, inilah yang terbaik. Membuatnya terutup, seperti hanya membuat kita kembali mundur jauh ke belakang.

Bukankah amanah reformasi adalah, membuat sistem-sistem yang selama ini tertutup atau ditutupi itu terbuka. Membuat semua menjadi terang benderang, karena selama 32 tahun entah apa yang terjadi. Orde Baru sudah membuat aturannya sendiri, sehingga jumlah partai saja hanya dua, satunya lagi adalah golongan. Membuat kekuasaan Presiden menjadi abadi, sampai dimundurkan rakyat tahun 1998.

Mungkin apa yang disampaikan SBY ada benarnya, kembali ke sistem tertutup bisa memancing chaos atau keributan. Minimal, keributan pada sisi politik, dan tidak berjalan baiknya Pemilu 2024. Akan kembali mundur 20 tahun ke 2004, di mana kita hanya memilih partai. Soal siapa yang akan dikirim ke Senayan, itu urusan partai masing-masing.

Kita akan kembali membeli kucing dalam karung. Tahu karungnya, eh partainya, tapi dak tahu isi kuncing, eh Calegnya. Entah siapa yang akan diprioritaskan partai politik dan didudukkan di nomor-nomor atas. Melakukan kocok ulang pun, sepertinya tidak akan ada gunanya. Karena yang nomor 1 dan 2 sebenarnya sudah “diseleksi” dengan seksama. Baik dari segi kepantasan, kualitas, sampai isi tas-tasnya. Meski tak semua seperti itu.

Potensi mundur ramai-ramai ini juga sudah menjadi catatan hampir semua partai politik. Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman mengatakan, peluang yang sama bisa sirna jika sistem diubah menjadi tertutup. Dalam sistem ini, caleg terpilih diserahkan pada parpol, disesuaikan dengan jumlah kursi yang diraih parpol di setiap daerah pemilihan. Akibatnya, sangat mungkin parpol memilih orang-orang dari kelompok tertentu saja.

Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengamini kemungkinan tergerusnya minat dari para bakal caleg yang telah didaftarkan untuk melanjutkan kontestasi. Sistem proporsional tertutup ini juga akan memengaruhi strategi parpol dalam meraih target suara pemilu. Karena salah satu strategi partai dengan pengaruh dari sosok bakal Caleg.

Ketua DPP Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, perubahan sistem Pemilu menjadi tertutup juga bakal merugikan publik. Sistem terbuka telah dinikmati publik dan dinilainya memberikan dampak positif bagi jalannya demokrasi di Indonesia. Menurutnya, proporsional tertutup menjadikan demokrasi yang telah dibangun pascareformasi menjadi mundur ke belakang.

Semoga apa yang pernah disuarakan Fraksi DPR RI, Selasa (30/5/2023) didengar MK. Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR kembali menyatakan penolakan perubahan sistem pemilu. Selain Gerindra, PAN, Nasdem, dan PKB, empat fraksi lain yang menolak adalah Golkar, Demokrat, PKS, dan PPP. Hanya Fraksi PDI Perjuangan yang tak ikut serta dalam konferensi pers tersebut.

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan, partainya siap dengan apa pun sistem Pemilu yang akhirnya diputus MK. Sebab, PDIP memiliki sistem pelembagaan partai yang baik dengan adanya kaderisasi.

Penulis Indonesia klasik, Pramoedya Ananta Toer pernah menyebut, “Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya.” Pun demikian, hari ini semua benar-benar bergantung ke pada para hakim MK. Apa yang mereka putuskan, itulah yang menjadi gambaran Pemilu Indonesia 2024. (Wartawan Utama)