Oleh: Reviandi
Kapan Pemilihan umum (Pemilu) digelar, masih banyak yang belum tahu. Jangankan orang awam, para pesohor negeri saja, banyak yang tidak tahu, kapan dan bagaimana sistem Pemilu Indonesia hari ini. Terlihat di beberapa podcast, banyak presenter ternama, sampai para artis yang tidak tahu, kalau Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) digelar serentak 14 Februari 2024.
Salah satunya adalah Mamat Alkatiri, stand up comedian yang dekat dengan Deddy Corbuzier. Dalam satu eposide Close the Door-nya Deddy, Mamat terlihat kebingungan saat ditanya, kapan Pileg dan Pilpres. Dia juga “ngango” dan ragu saat disebutkan, apakah kedua kontestasi nasional itu digelar serentak atau tidak. Konon lah lagi, kapan alek demokrasi itu digelar.
Saat itu, Mamat dan Deddy sedang membahas, bagaimana sistem perekrutan partai politik. Sampai-sampai, Aldi Taher bisa mendaftar atau didaftarkan dua partai menjadi Bacaleg. Satu Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketauai Yusril Ihza Mahendra, lainnya Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang dimiliki dan langsung diketuai Hary Tanoesoedibjo.
Niat hati Deddy dan Mamat ingin mempertanyakan kenapa bisa dua partai mendaftarkan orang yang menurut mereka tidak layak duduk sebagai anggota Dewan kepada parpol. Tapi, mereka sepertinya juga kurang memahami, kapan dan bagaimana sistem Pemilu 2024 digelar. Ini tentu menjadi sebuah hal yang menarik kalau disimak dari sisi lainnya.
Bagaimana para pesohor negeri juga belum tahu, kapan Pemilu digelar dan bagaimana sistemnya. Mungkin, sosialisasi memang masih sangat kurang, diakibatkan oleh beberapa hal. Mulai dari belum lengkapnya komisioner di KPU Kabupaten dan Kota, sehingga membuat suasana kurang meriah. Komisioner yang ada saat ini, apalagi sudah tak terpilih lagi, sepertinya kurang gairah untuk bekerja.
Kalau tak terpilih karena tak maju dan tersangkut aturan, mungkin saja tak masalah benar. Banyak incumbent KPU yang tidak lolos untuk periode kedua. Bahkan, di KPU Sumbar saja, semua komisioner tak lolos. Lima nama yang diumumkan terakhir adalah orang-orang baru semua. Incumbent kemungkinan sedang berebut kursi yang sedang disediakan Bawaslu.
Meski di tingkat Provinsi sudah hampir tuntas suksesi komisioner KPU, tapi di Kabupaten dan Kota masih belum. Termasuk di belasan KPU Kabupaten dan Kota di Sumbar. Pekan ini masih dilakukan seleksi akhir, setelah para calon peminat dipilah menjadi 10 besar dan akan menuju lima besar. Siapa yang akan terpilih, pekan-pekan inilah waktu krusialnya.
Jadi, para komisioner KPU hari ini, mungkin kurang gairah juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat, kapan dan bagaimana Pemilu 2024 ini. Nasib mereka saja belum jelas, apakah masih akan menjabat, atau tidak. Mereka akan fokus kepada sosialiasi, mungkin saja kalau sudah ada kepastian nasib. Dan sosialisasi yang sebenarnya akan dikerjakan oleh komisioner periode selanjutnya.
Namun, selama beberapa hari terakhir, sosialiasi terbentur anggaran kembali mengemuka dari sejumlah komisioner di daerah. Seperti KPU Bekasi, Jawa Barat yang mengeluhkan minimnya anggaran yang diterima untuk menyelenggarakan Pemilu. Mereka tahu, Pemilu yang bersumber dari dana APBN terbilang minim. Karena dari dana yang diajukan hanya menerima 0,36 persen atau Rp100 juta. Anggaran itu dirasa tak cukup untuk sekadar melakukan sosialisasi.
Berbeda dengan Pilkada yang sumbernya dari APBD, sedangkan Pemilu dari APBN. Meski APBN yang tertuang dan diketahui publik besarannya triliunan, faktanya untuk di daerah sangat minim. KPU di daerah bahkan harus meminta Pemda untuk membantu sosialisasi Pemilu. Kalau tidak, menyukseskan Pemilu akan menjadi sebuah hal yang susah.
Namun, KPU pusat memiliki target partisipasi masyarakat pada Pemilu Serentak 2024 telah dipatok lebih tinggi ketimbang tahun Pemilu sebelumnya. Bahkan, bisa mencapai 81 persen pemilih. Jumlah yang tentu saja sangat besar, karena hanya 19 persen saja yang tidak memilih. Jumlah yang begitu fantastis dan ambisius.
Selain faktor KPU, masalah sistem Pemilu yang belum kelar-kelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) juga membuat galau banyak pihak. Utamanya para bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) yang sebenarnya jauh lebih banyak jumlahnya dari anggota KPU. Kalau semua Caleg bergerak, maka minimal semua orang akan tahu kapan Pemilu, dan siap yang akan mereka pilih.
Sekarang, semua Bacaleg ini pada galau, apakah sistem akan terbuka atau tertutup. Kalau terbuka, mereka tentu akan mati-matian menyampaikan kapan Pemilu dan siapa yang akan dipilih. Kalau sistem proprosional tertutup yang diakomodir MK, maka para Caleg nomor urut bawah akan diam saja. Bahkan, cenderung membuat orang di sekitarnya juga tak memilih.
Mereka berpikir, untuk apa menyosialiasikan Pemilu, sementara mereka tak akan berpeluang terpilih sebagai anggota DPR. Jadi, sistem ini juga akan berkontribusi dalam suskes atau tidaknya Pemilu. Harapan 81 persen partisipasi pemilih yang digaungkan KPU akan percuma. 50 persen saja sudah syukur. Karena yang mungkin akan bekerja hanya anggota KPU dan Caleg nomor urut atas saja.
Sekitar delapan bulan lagi Pemilu digelar, dimulai dengan masa kampanye November 2023 sampai awal Februari 2024, KPU harus bergerak. Maksudnya, KPU periode terbaru jangan tinggal diam. Andai sistem tertutup, maka harapan untuk suksesnya Pemilu akan tertumpu pada KPU semata. Tentu dengan elemennya di tingkat kecamatan (PPK), kelurahan (PPS) sampaike tingkat tempat pemungutan suara (TPS).
Karena, tingginya partisipasi Pemilu dipengaruhi beberapa hal. Salah satunya, penyebaran informasi aktual yang merata terkait Pemilu. Peran KPU sangat penting terutama dalam kaitannya dengan pelayanan informasi kepada masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu harus diterus ditingkatkan.
Jangan sampai, KPU dianggap sebagai lembaga yang hanya bekerja sebagai “panitia” tanpa mengambil peran edukasi atau pendidikan pemilih dan politik. Kalau seperti itu, maka sama-sama kita lihat saja, libur nasional yang ditetapkan saat Pemilu 14 Februari 2024, akan digunakan oleh masyarakat untuk liburan. Bukan mengantre di TPS. Apalagi memilih orang-orang yang mereka tidak ketahui.
Memang, selama ini KPU lebih banyak terlihat dibantu oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan sosialiasi soal Pemilu. Ini anggap saja tak masalah, yang penting ada yang selalu bergerak sampai kepada pemilih, bagaimana Pemilu ini sukses dan beres. Agar yang dihasilkan juga lebih berkualitas dan berkelas. Minimal tidak dikalahkan oleh golongan putih (golput) atau orang yang tidak memilih.
Meski sebenarnya, kalau pemerintah terlalu banyak mencampuri urusan pemilih ini, bisa-bisa apa yang dikatakan Abdurrahman “Gusdur” Wahid malah jadi kenyataan. Dia bicara seperti ini, “Tergantung pemerintah. Kalau pemerintah campur tangan terus dalam segala hal yang terjadi, adalah kami tidak ada jalan lain adalah membisikkan pada para pemilih golput aja bareng-bareng.” Nah, dilema. Seharusnya soal sosialiasi ini memang domainnya KPU, parpol dan para Caleg. (Wartawan Utama)