Oleh: Reviandi
Negara agraris yang nenek moyangnya orang pelaut, itulah kita. Bahkan tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Sepotong surga yang terlempar ke bumi. Begitu banyak adagium yang menyatakan, negara ini adalah negara yang subur dan berbasis pertanian dan kelautan. Tapi, apa benar masyarakatnya sudah sejahtera, baik petani, pekebun, nelayan, petambak dan lainnya yang mengacu ke petani.
Yang terjadi sebenarnya, begitu banyak petani yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Golongan yang susah sekadar menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang SMA sederajat. Konon mau disampaikan ke tingkat peruguruan tinggi, untuk kebutuhan sehari-hari saja susah. Berat memang hidup petani di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Yang artinya, tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya.
Hampir setiap musim penerimaan mahasiswa baru, banyak anak petani yang lulus kuliah di perguruan tinggi favorit dalam negeri sampai ke luar negeri. Tapi, begitu banyak pula yang harus mengubur mimpi mereka, karena ketiadaan biaya. Beberapa memang nongol di berbagai media dan mendapatkan bantuan, sekadar ongkos dan uang masuk. Setelahnya, mereka harus berjuang sendiri.
Petani, bukan menjadi pekerjaan idaman hampir semua orang di Indonesia. Kalaupun ada, itu hanya karena terpaksa dan jumlahnya mayoritas. Mungkin sangat sedikit yang memiliki passion di bidang pertanian dan berkembang. Petani kadang pekerjaan sampingan, agar lahan terolah juga. Kalau fokus benar-benar fokus, maka akan susah mendapatkan kehidupan yang layak.
Di berbagai media, banyak diceritakan petani yang sukses, baik bertanam durian, anggur, beternak ayam hias, beternak ikan dan lainnya. Namun, sebagian di antaranya tetap memiliki pekerjaan utama, tapi beternak dan bertani menjadi hobi mereka awalnya. Karena pemasukan yang lumayan, akhirnya mereka menyeriuskan. Tapi itu tadi, jumlahnya sangat sedikit. Hanya untuk menjadi motivasi saja bagi mayoritas yang belum sukses.
Berapa jumlah petani di Indonesia? Sektor pertanian masih menjadi lapangan pekerjaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja domestik. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 40,64 juta pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada Februari 2022.
Jumlah itu porsinya mencapai 29,96% dari total penduduk bekerja yang sebanyak 135,61 juta jiwa, sekaligus menjadi yang terbesar dibanding lapangan pekerjaan utama lainnya. Berikutnya adalah sektor perdagangan besar dan eceran 25,8 juta (19,03%), sektor industri pengolahan 18,67 juta (13,77%) serta sektor penyediaan akomodasi dan makan minum 9,63 juta pekerja (7,11%).
Dengan jumlah pekerja di bidang pertanian yang hampir mencapai 30 persen itu, tentu menjadi “lahan” yang sangat menggiurkan bagi para politisi. Mereka berlomba-lomba merayu petani, agar bergabung dengan partai politiknya. Ini tak lain dan tak bukan, karena jumlah petani yang sangat banyak, dan mereka belum sejahtera.
Angka yang disebutkan BPS itu, sejatinya masih jauh di bawah jumlah petani yang sebenarnya. Karena banyak warga di desa-desa yang masuk dalam kategori tak bekerja, tapi mereka rata-rata petani. Meski yang diolah adalah tanah orang lain, atau tanah yang sangat kecil milik keluarganya. Kerja lainnya, ya serabutan saat tak Bertani. Atau sekadar bincang-bincang di kedai, ota lapau istilah Minangnya.
Jumlah yang sangat menggiurkan itu pulalah yang membuat politisi bergerak dengan sejumlah programnya untuk para petani. Kalau incumbent, sudah beragam yang mereka guyurkan. Dari alat pertanian, bantuan modal pertanian, sampai pupuk subsidi dan nonsubsidi. Belum lagi bantuan biaya olah tanah yang belakangan mulai menjadi tren. Biaya mengolah tanah kabarnya bisa mencapai 30 persen dari total biaya pertanian.
Tapi sayang, kebijakan itu banyak sekadar rayuan untuk para petani memilih politisi dalam Pemilu atau Pilkada saja. Bukan kebijakan yang benar-benar propetani yang membuat mereka lebih sejahtera. Hanya program sementara yang membuat petani malah “tergantung” pada bantuan-bantuan kecil setelah itu. Bukan program yang benar-benar terasa bagi mereka.
Secara nasional, hari ini para petani masih mengeluhkan mahal dan langkanya pupuk di pasaran. Banyak di antara mereka yang terpaksa tidak memupuk tanaman yang membuat hasil yang didapatkan jauh berkurang. Karena sistem tanam yang saat ini dipakai, sangat bergantung kepada pupuk kimia yang susah dijangkau petani.
Padahal, yang mereka harapkan adalah sistem pertanian yang terus dikembangkam lebih baik, meski tak benar-benar organik. Banyak hal yang membuat petani tidak bisa mengandalkan hidup mereka dari pekerjaan turun temurun ini. Sehingga harus mencari pekerjaan tambahan, agar anak-anak mereka sekolah. Agar kesehatan lebih terjamin. Agar hidup lebih baik lagi.
Seharusnya, momentum Pemilu dijadikan ajang berlomba-lomba mensejahterakan petani. Dengan adu gagasan, adu program dan adu ilmu soal pertanian yang terbaik untuk masyarakat. Bukan sekadar iming-iming bantuan semu petani. Saat Pemilu selesai, semua akan kembali ke setelan pabrik. Dan petani akan kembali gila mencari pupuk, bibit dan segala kebutuhan mereka. Sementara para pejabat, kembali kepada jati diri sejati mereka; tak peduli.
Di Sumbar, akan digelar Pekan Nasional (Penas) XVI Petani dan Nelayan di Kawasan Lanud Sutan Sjahrir, Padang 10-15 Juni 2023 besok. Penas dianggap program strategis upaya konsolidasi bersama dalam menjaga ketahanan pangan nasional di tengah ancaman krisis. Diharapkan bisa menjawab berbagai tantangan yang tengah dihadapi sektor pangan. Menyatukan visi dan pandangan seluruh masyarakat dan pemangku kebijakan dalam menghadapi berbagai tantangan pertanian.
Penas Tani Nelayan 2023 akan dihadiri petani dan nelayan dari seluruh Indonesia, termasuk gubernur, bupati dan wali kota. Diperkirakan kehadiran peserta mencapai 40.000-an orang. Penas Tani Nelayan merupakan forum pertemuan yang telah berlangsung sejak 1971, dan menjadi bagian yang strategis dalam upaya membangun kesepahaman di antara berbagai pemangku kepentingan sektor pertanian ataupun perikanan.
Momen Penas yang berdekatan dengan Pemilu 2024 diharapkan bisa menjadi langkah yang tepat bagi pemerintah untuk lebih peduli terhadap petani. Bukan sekadar mengembangkan kebijakan aneh yang tidak menyentuh mereka sama sekali. Kebijakan yang katanya popular, tapi tak bisa membuat petani lebih baik, apalagi sejahtera. Penas dan Pemilu harus dijadikan ajang, agar program pertanian lebih membumi. Tak menggunakan bahasa langit dan bisa diterapkan di halaman rumah mereka, lahan-lahan mereka.
Kepala negara, kepala daerah, pengurus partai, para caleg, dan lainnya, berlomba-lombalah untuk berbuat pada petani Indonesia. Jangan lagi ada kejadian, saat panen raya, impor hasil pertanian pun juga “panen” di negeri ini. Petani adalah pekerjaan mulia.
Bahkan, revolusioner dan pemimpin gerilya dari Argentina Che Guevara pernah berkata, “Petani itu adalah seorang yang berkeyakinan baik, orang yang bermoral tinggi, dan memiliki cinta kepada kebebasan yang kokoh.” Jadi, jangan lagi petani hanya menjadi target suara politisi, tapi targetkanlah kesejahteraannya. (Wartawan Utama)