Pemilu Sistem Terbuka dan Politik Uang

UANG

Oleh: Reviandi

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) tetap seperti 2019, maka hiruk-pikuk di tengah masyarakat sedikit berkurang. Tak ada lagi “perpecahan” antara yang pro dengan sistem saat ini, terbuka, atau dengan sistem tertutup. MK telah menolak gugatan yang meminta sistem tertutup dipakai untuk 2024.

Tapi, apakah para pencinta sistem terbuka akan terus berefouria dengan putusan MK tersebut, belum tentu juga. Karena, para pengurus partai politik (parpol) punya strategi khusus juga, agar partainya tetap mendapatkan kursi maksimal, tapi yang duduk adalah para kader mereka. Bukan orang umum atau luar partai yang diberikan kesempatan mendaftar mencaleg dari partai mereka.

Semoga isu-isu terkait money politic tentang penetapan nomor urut ini, perlahan akan surut juga. Begitu juga kehebohan saat Ketua DPD Partai NasDem Indramayu Yosep Husein Ibrahim bersama sejumlah kader NasDem menggelar mundur massal dari partai bentukan Surya Paloh itu. Video itu beredar, persis beberapa hari sebelum MK mengumumkan keputusannya tentang sistem Pemilu.

Yosep menyebut, dia dijanjikan nomor urut 1 saat mencaleg DPR RI, tapi ternyata tidak. Salah satu alasan yang disebutkannya, karena tidak menyetor mahar Rp3,5 miliar. Pengurus NasDem pun membantah dan menyatakan siap melaporkan Yosep karena merugikan partai mereka. Tapi, apakah itu hanya terjadi di NasDem? Pastinya tidak, tapi soal angka itu terlatif.

Apa yang dilakukan Yosep dkk di Indramayu mungkin saja karena hari itu, putusan MK disebut-sebut akan membuat sistem tertutup kembali dipakai seperti saat Pemilu 1999 dan 2004. Kalau sudah terbuka kembali, mungkin aksi-aksi seperti ini akan berkurang. Meski mahar politik soal nomor urut itu tetap akan berlangsung, terbuka atau tertutupnya sistem.

Jika sistem tertutup yang dipakai, maka harga nomor urut 1 akan menggila. Ibaratnya, akan menjadi komoditi yang super mahal dan sangat diperebutkan. Secara hukum ekonomi, nilai atau valuenya sangat tinggi. Bahkan, nomor 2 ke bawah seperti tidak ada harganya lagi. Inilah yang membuat mahar politik terjadi, karena ada yang akan membayarnya. Meski pengurus partai masih malu-malu untuk menerima.

Agak sedikit berbeda dengan sistem terbuka, seperti 2019 lalu. Mungkin harga nomor urut pertama tidak akan sebesar sistem tertutup. Tapi, para peminat tidak akan mengincar nomor urut satu saja, karena nomor-nomor selanjutnya juga akan diburu. Dengan begitu, harga dari nomor urut itu kembali sama dengan sistem tertutup. Dan melibatkan “konsumen” yang jauh lebih banyak.

Banyak alasan partai politik menerapkan uang mahar atau yang kadang disebut partisiapsi itu. Yang paling lazim adalah untuk uang saksi dan operasional selama Pemilu. Kalau hanya dibebankan kepada partai politik saja, pastinya tidak akan kuat. Karena, rata-rata partai politik menempatkan satu atau dua saksi di satu tempat pemungutan suara (TPS).

Andai satu saksi dibayar Rp100 ribu saja, maka untuk memastikan semua TPS di Kota Padang ada saksi partai, maka minimal akan dikeluarkan uang Rp328 juta. Karena jumlah TPS sementara di kota bingkuang itu mencapai 3.280. Sementara untuk Sumatra Barat (Sumbar), jumlahnya mencapai 18.494 TPS. Artinya, akan membutuhkan dana Rp1,8 miliar lebih hanya untuk sekadar biaya saksi semata.

Tapi, melihat yang terjadi di lapangan, satu TPS bisa diisi oleh dua orang saksi atau lebih. Satu saksi bisa mengantongi uang sampai Rp300 ribu. Artinya, uang yang dikeluarkan hanya untuk saksi bisa mencapai miliaran Rupiah. Jadi, inilah yang dijadikan “pembenaran” bagi partai politik untuk memungut uang dari para Bacalegnya, baik itu kader atau orang umum. Kalau tidak bayar, ya jangan harap akan mendapatkan nomor cantik, bahkan masuk bursa pun meragukan.

Jadi, bisa saja sistem terbuka ini malah “menyuburkan” money politik atau politik uang itu sendiri. Karena, pemainnya kan semakin banyak, karena nomor urut buncit, apalagi angka-angka cantik seperti 9 dan 10, juga akan jadi rebutan. Karena, nomor paling bawah juga dianggap mudah diingat oleh pemilih, meski itu mungkin hanya sugesti atau hiburan saja bagi Caleg yang tak mampu “membeli” nomor urut atas.

Meski ketok palu menolak semua gugatan, MK tetap mengungkap kekurangan sistem proporsional terbuka, karena berpotensi meningkatkan politik uang. Kata hakim MK Suhartoyo, kandidat yang memilki sumber daya finansial yang besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih.

Selain itu, sistem ini juga mengharuskan modal politik yang besar untuk proses pencalonan. Dalam sistem ini, kandidat perlu mengeluarkan biaya yang signifikan untuk mencalonkan diri dan melakukan kampanye politik. Mereka juga harus memikirkan biaya iklan, promosi, transportasi, dan logistik lainnya.

Keberadaan modal politik yang besar ini dapat menjadi hambatan bagi kandidat yang tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup, sehingga merugikan kesempatan kandidat dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah untuk berpartisipasi secara adil dalam proses politik.

Kelemahan berikutnya, sistem ini selain dapat mereduksi peran partai politik, juga terbuka kemungkinan adanya jarak antara anggota calon legislatif dengan partai politik yang mengajukannya sebagai calon. Kelemahan lainnya, pendidikan politik oleh partai politik yang tidak optimal, di mana partai politik cenderung memilki peran yang lebih rendah dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilih.

MK memang menitikberatkan soal politik uang jika sistem terbuka diberlakukan. Namun, mayoritas sepakat tetap memakai sistem itu pada Pemilu 2024 nanti. Hanya satu hakim yang berpendapat berbeda, Arief Hidayat. Arief memang sejak awal sudah “pro” terhadap sistem tertutup. Bahkan, dia pernah memberikan pernyataaan, kalau sistem tertutup bisa ditetapkan di injury time jelang Pemilu. Sama seperti penetapan sistem terbuka beberapa waktu sebelum Pemilu 2009 lalu.

Jadi, sebenarnya, baik sistem terbuka atau terututup, politik uang masih akan terjadi, selama sistem politik kita masih seperti ini. Partai politik masih dibiarkan mencari atau menggalang dana sendiri. Tidak memberikan beban kepada negara untuk membiayai penuh partai politik, sehingga mereka tidak akan “bertaruh” pada uang yang terkumpul saat kontestasi, baik Pemilu, Pilpres ataupun Pilkada.

Mungkin memang, sudah harus ada kajian atau Undang Undang yang direncanakan untuk memastikan pendanaan partai politik murni dari negara. Agar tak ugal-ugalan lagi seperti saat sekarang ini. Perlu terus dikaji, bagaimana negara-negara yang partainya telah dibiayai negara, APBN lah istilahnya. Seperti di Kanada dan Swedia yang partainya murni dibiayai negara. Pemilu di negara-negara itu mungkin panas, tapi tetap berjalan dengan baik selama ini.

Tapi ini mungkin bisa diselewengkan juga, karena negara adalah pemilik uang untuk partai politik. Memang berat, kalau mendapatkan hasil Pemilu yang baik dengan sistem yang masih dikuasai oleh pendanaan. Mungkin apa yang disampaikan Khalifah Ali Bin Abi Thalib ini bisa kita pakai untuk mengubah keadaan, “Jangan berhenti berdoa untuk yang terbaik bagi orang yang kau cintai.” Mungkin pemimpin-pemimpin kita, sampai negara ini secara keseluruhan. (Wartawan Utama)