Oleh: Reviandi
Heboh “bocoran” kontrak politik antara Capres Ganjar Pranowo dan PDI Perjuangan oleh kader PSI Ade Armando membuncah beberapa hari terakhir. Ade menyebut, Ganjar akan memberikan kewenangan penuh kepada partai untuk menentukan menteri dalam kabinet sampai reshufle nantinya.
Dengan terang, YouTuber Cokro TV itu menulis dalam Twitternya, dia mendapatkan kabar, Ganjar sudah meneken kontrak dengan PDIP bahwa kalau dia jadi Presiden, penentuan orang-orang yang jadi menteri dan menempati posisi strategis akan ditentukan oleh PDIP. Ini perlu segera diklarifikasi karena info ini sudah beredar cukup luas. Mudah-mudahan salah.
Akhirnya, apa yang ditulis Ade itu mendapat bantahan dari dua partai pengusung Ganjar Pranowo, PDI Perjuangan dan PPP. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno membantah cuitan Ade Armando. Dia menyebut, tak ada transaksional seperti itu, itu kepala desa mungkin begitu sama bohirnya.
Waketum PPP Asrul Sani menyatakan tidak ada kesepakatan itu. Katanya, koalisi tidak hanya dilandasi soal komitmen dalam kabinet, tapi ada hal-hal lain yang lebih prinsip. Katanya, yang ada adalah musyawarah dan pembicaraan dari hati ke hati antara Ganjar Pranowo.
Ganjar kalau terpilih sebagai Presiden, PDIP, dengan partai-partai pengusung termasuk PPP, itu yang akan melandasi bukan hanya soal kabinet, tapi juga soal hal lain. Bagi PPP sendiri hal-hal seperti itu ya tidak usah diramaikan di ruang publik, apalagi dasarnya kan rumor.
Terlepas dari ada atau tidaknya kontrak politik antara Ganjar dan PDIP, sejatinya dalam kontestasi politik kontrak politik itu ada. Bahkan, kerap “meledak” setelah selesainya kontestasi, baik calon itu menang atau kalah. Tapi, rata-rata kontrak yang diributkan itu terkait dengan pendanaan dalam Pemilu, Pilpres sampai Pilkada.
Kontrak politik saat ini banyak diteken oleh pasangan calon yang akan maju, calon dengan partai pengusung sampai calon dengan masyarakat. Dan yang paling banyak diingkari oleh politisi adalah kontrak politik dengan masyarakat. Bahkan, ada yang sampai membenturkannya dengan aturan undang undang. Padahal, dia sudah tahu dari awal kalau apa yang mereka sepakati itu bertolak belakang dengan aturan.
Salah satu yang bisa disebut kontrak politik adalah Perjanjian Batu Tulis antara Capres Megawati dan Cawapres Prabowo Subianto 2009. Pasangan ini menetapkan 7 perjanjian jelang maju ke pertarungan. Sayang, mereka gagal membendung duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Boediono yang memenangkan Pilpres hanya satu putaran saja.
Perjanjian ditandatangani Megawati Soekarnoputri dan Prabowo pada 16 Mei 2009 dengan tujuh poin kesepakatan. Prabowo awalnya ingin peran wakil Presiden dikuatkan seperti perdana menteri. Mega menolak usul itu karena dianggap melawan konstitusi. Prabowo menerima kesepakatan karena diberi janji bakal disokong menjadi presiden pada Pemilu 2014 seperti ditulis pada poin ketujuh Perjanjian Batu Tulis.
Sayang, pada 2014 Megawati dan PDIP mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Capres dan mengalahkan Prabowo-Hatta Rajasa. Prabowo sempat mengungkit perjanjian itu saat Pilpres 2014. Dia merasa dikhianati karena Mega dan PDIP menetapkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden, bukan mendukung dia seperti yang tertara pada kesepakatan ketujuh.
Tidak hanya di tingkat pusat, di daerah pun kontrak politik kerap terjadi, ada yang menepati dan ada yang mengingkarinya. Bahkan, saat Pilwako Bukittinggi, Calon Wali Kota Erman Safar meneken kontrak politik dengan pedagang pasar. Erman Safar yang diback up Ketua DPD Gerindra Sumbar Andre Rosiade berjanji akan mencabut Peraturan Wali Kota (Perwako) Bukittinggi Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 yang dinilai memberatkan. Kontrak politik itu juga diumumkan ke media.
Sejatinya, kontrak politik telah muncul sejak Pemilu secara langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden, caleg, serta calon dalam Pilkada. Kontrak politik dipahami sebagai perjanjian yang melibatkan antarelite partai koalisi, calon kepala daerah dengan partai pengusung, dan calon kepala daerah dengan pemilih atau rakyat.
Sayangnya, dalam kontrak politik yang dilakukan elite, posisi rakyat sering hanya sebagai penyuplai suara dan sasaran mobilisasi massa semata. Parahnya, rakyat banyak dirugikan. Perbincangan mengenai kontrak politik berikut implikasinya dapat dijelaskan dengan meminjam kerangka pikir Peter Blau (1964) mengenai teori pertukaran sosial.
Berdasarkan teori ini, hubungan pertukaran sosial antara seseorang dan orang lain terjadi karena adanya imbalan. Karena itu, dapat dipahami jika dalam setiap pertukaran sosial terdapat unsur imbalan, pengorbanan, dan keuntungan. Pertukaran sosial politik dimungkinkan karena ada yang membutuhkan dan memberikan pertolongan.
Kontrak politik kebanyakan dilandasi kepentingan pragmatis jangka pendek semata. Jika perjanjian antarelite terjadi, misal antara PDIP dan Ganjar seperti yang diinfokan Ade Armando, maka yang tak mendapat apa-apa tentu masyarakat. Karena penentuan menteri adalah kuasa elite yang tidak bersinggungan langsung dengan masyarakat. Jadi, sebaiknya para Capres berkontrak politik dengan rakyat, bukan hanya dengan elite-elite partai semata.
Tapi, sampai hari ini belum ada Capres yang menyatakan menyiapkan kontrak politik dengan masyarakat. Mereka seolah lebih penting “berbisnis” dengan pengurus partai semata, dan menjadikan masyarakat hanyalah lahan berebut kekuasaan saja. Entah sampai kapan hal ini akan terjadi.
Filsuf asal Perancis, Jean-Jacques Rousseau berujar, “Mereka yang paling lamban dalam membuat janji adalah yang paling setia dalam melaksanakannya.” Jadi, jangan mudah menebar kontrak politik. (Wartawan Utama)