Pilpres dan Posisi Kepala Daerah

Logo KPU

Oleh: Reviandi

Makin mengerucutnya partai politik (parpol) dalam memastikan calon Presiden (Capres) yang akan diusung, akan membuat sejumlah kepala daerah terlibat “masalah.” Karena, mayoritas kepala daerah diusung oleh koalisi partai di daerah, yang belum tentu sejalan dengan koalisi Pilpres 2024. Kalau tak pandai-pandai menyikapi, bisa “bubar” sebelum Pilkada berikut.
Salah satu contohnya posisi Gubernur Sumbar Mahyeldi dengan Wakil Gubernur Audy Joinaldy. Diketahui, saat pemilihan Gubernur (Pilgub) 2020, pasangan ini diusung koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi, saat ini, dua partai pengusung mereka sudah mengusung calon Presiden yang berbeda.
PKS telah mendeklarasikan dukungan kepada Anies Baswedan bersama Partai NasDem dan Demokrat. Sementara PPP juga telah mendeklarasikan mendukung Ganjar Pranowo bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Posisi ini, mau tak mau akan membuat Mahyeldi-Audy tidak akan bisa seiring sejalan selama Pileg dan Pilpres mendatang. Apalagi kalau tiba masanya Capres masing-masing memiliki jadwal di Sumbar, baik kampanye atau sekadar temu tokoh saja. Cuti Gubernur dan Wagub akan membuat mereka berada pada sisi yang berbeda.
Mahyeldi saat ini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Sumbar yang akan membuatnya juga banyak terlibat dalam pemenangan PKS pada Pileg 2024. Mahyeldi juga seorang yang bersikap tegak lurus terhadap arahan DPP PKS selama ini. Terlihat, saat berposisi sebagai Wali Kota Padang, Mahyeldi kerap mengambil cuti untuk mendukung Capres yang diusung partainya.
Mahyeldi juga orang yang akan sangat dibutuhkan oleh Anies dan pasangannya untuk memaksimalkan suara Sumatra Barat. Suara yang sudah dua kali Pilpres (2014 dan 2019) betul-betul dikuasai oleh Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Meski Anies disebut memiliki peluang untuk mengalahkan Prabowo di Sumbar, kalau tak didukung masimal oleh Mahyeldi, akan susah.
PKS saat ini juga sangat bergantung kepada Mahyeldi untuk mendapatkan kursi yang lebih baik dari 2019. Apalagi di Kota Padang, setelah PKS “tersingkir” dari pimpinan kota, saat jagoan mereka Hendri Susanto dikalahkan kader PAN Ekos Albar dalam pemilihan di DPRD Padang. Dengan Mahyeldilah, PKS tetap mendapatkan peluang besar menjadi papan atas di Kota Padang. Artinya, Mahyeldi diharapkan full back up terhadap PKS.
Sementara Audy Joinaldi, meski baru memasuki dunia politik setahun sebelum Pilgub Sumbar 2020, kini sangat dikenal sebagai politisi PPP. Dia diberikan amanah sebagai Ketua DPP PPP, jabatan yang mentereng untuk “pendatang baru” di partai berlambang Kakbah. Audy juga bukan orang sembarangan yang menerima amanah tanpa menjalankannya.
Sayang, PPP yang menyatakan dukungan kepada Ganjar Pranowo, tidak akan mendapatkan peluang yang sama dengan partai yang mendukung Anies ataupun Prabowo di Sumbar. Sampai hari ini, survei hampir semua lembaga, persentase elektabilitas Ganjar di Sumbar masih di bawah 10 persen. Bahkan beberapa survei hanya mencantolkannya dengan 5 persen.
Audy akan bekerja lebih keras untuk membantu suara Ganjar di 19 Kabupaten dan Kota se-Sumbar. Sama halnya dengan posisi PPP pada Pilpres 2019 lalu yang mendukung Joko Widodo (Jokowi). Selain perolehan Jokowi yang hanya 13 persen, kursi-kursi PPP di DPRD Sumbar dan DPRD Kabupaten/Kota juga melorot. Banyak yang sekadar membuat satu fraksi saja tidak bisa.
Lalu, bagaimana Audy yang berumur pas 40 tahun ini akan membuat Ganjar dan PPP berjaya di Sumbar? Inilah yang akan sangat menarik. Belum lagi sang tandem, Mahyeldi pastinya akan lebih fokus mendukung Anies Baswedan. Audy harus berpikir keras untuk membuat Capresnya unggul, partainya aman, dan hubungan dengan Mahyeldi baik-baik saja.
Bagi Audy, persahabatannya dengan “Buya” sangatlah penting. Dimana-mana dia menyebut, kalau tak diajak Mahyeldi, belum tentu dia mau ikut Pilkada Sumbar. Begitu juga 2024 mendatang, saat Pilkada super serentak kembali digelar akhir tahun. Audy sudah berulang-ulang menyebut, tetap berpasangan dengan Mahyeldi, atau dia akan kembali ke Jakarta atau Makassar jadi pengusaha.
Audy mungkin belum berani menyatakan diri maju sebagai calon Gubernur sendiri dan menyebut mendampingi Mahyeldi satu periode lagi. Tapi, andai terjadi perubahan, Ganjar Pranowo jadi Presiden dan PPP punya kekuatan politik yang baik, bisa saja dia berubah. Karena, sejak dilantik 2021, Audy cukup banyak berkeliling Sumbar bukan sebagai pengganti Gubernur, tapi memiliki agenda atau acara tersendiri.
Semoga saja, Pileg apalagi Pilpres 2024 nanti tidak akan membuat pasangan politisi/ulama dengan pengusaha muda ini “pecah kongsi.” Keduanya masih dibutuhkan untuk mengawal Sumbar yang saat ini sedang terbengkalai dari berbagai sektor. Banyak program nasional yang sebenarnya bisa mereka jalankan, tapi terkendala karena berbagai hal. Yang terlihat nyata itu adalah pembangunan tol Padang-Sicincin, yang mimpinya bisa sampai ke Pekanbaru, Riau.
Lain Mahyeldi, lain pula Hendri Septa dan Ekos Albar. Wako dan Wawako Padang ini satu bendera PAN. Pileg dan Pilpres dipastikan tidak akan mengubah posisi mereka. Tapi itu kalau masa jabatan mereka tetap sampai Mei 2024. Kalau hanya sampai akhir Desember 2023, maka keduanya dipastikan akan mengikuti alek demokrasi itu sebagai warga biasa saja.
Yang aman itu Bupati Dharmasraya Sutan Riska dari PDIP. Setelah Wakil Bupati Dasril Panin Datuak Labuan meninggal dunia 13 Februari 2022, sampai hari ini belum ada penggantinya. Pun demikian, Dasril Panin juga adalah kader PDIP, meski pernah menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar. Kekuatan besar Sutan Riska 2020 membuatnya bisa menggandeng sesama kader PDIP maju Pilkada Dharmasraya dan menang.
Di Agam, Bupati Andri Warman yang berlabel PAN, juga akan tidak dipusingkan lagi dengan Wakil Bupati Irwan Fikri. Kader Demokrat itu telah mengundurkan diri karena ingin maju dalam Pileg DPRD Sumbar. PAN dan Demokrat di tingkat pusat bisa saja berkoalisi, andai keduanya mengusung Ganjar Pranowo. PAN masih gantung antara Ganjar atau Prabowo. Demokrat juga masih ragu antara Ganjar atau Anies.
Kita lihat pula bedanya di Pesisir Selatan saat Bupati Rusma Yul Anwar disebut telah keluar dari Partai Gerindra dan bergabung ke PDIP. Sementara Wakil Bupati Rudi Hariyansyah adalah politisi PAN dan menjabat sebagai Ketua DPD PAN Pessel. Keduanya sekarang berharap, partai mereka berkoalisi mendukung Ganjar, agar pemerintahan Pessel juga tak perlu “terbelah.”.
Daerah lainnya sama saja, antara Bupati dan Wakil Bupati atau Wako dan Wawako rata-rata berasal dari partai berbeda. Kalau mereka tidak pandai-pandai dan hanya berhasrat “buta” mendukung Capres masing-masing, harapan akan terjadi sedikit guncangan. Kedewasaan berpolitik sangat diperlukan, agar bisa lebih baik lagi dalam mengelola “konflik” yang mungkin saja terjadi.
Jangan pula sampai terdengar, kepala daerah “membegal” wakilnya karena beda pendapat ini. Bukankah kata Imam Syafi’I, “Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang tidak melihat kedudukan dirinya, dan manusia yang paling banyak memiliki kelebihan adalah mereka yang tidak melihat kelebihan dirinya.” Jadi, baiknya Pemilu dan Pilpres ini dinikmati dengan happy saja. (Wartawan Utama)