Musim Kontestasi, Bisakah Polri Netral?

ILUSTRASI

Oleh: Reviandi

Polisi Republik Indonesia (Polri) merayakan hari ulang tahunnya, Sabtu (1/7). Tahun ini Polri berusia 77 tahun, umur yang sama dengan republik ini sampai 17 Agustus 2023 mendatang. Selama itu pula polisi dan polisi wanita (Polwan) bersama masyarakat, baik masih tergabung dalam ABRI/TNI atau sudah berpisah.
Menghadapi tahun 2024 yang merupakan tahunnya Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), Polri menyadari benar peran mereka. Karena itulah tema yang diambil hari ini adalah “Polri Presisi untuk Negeri Pemilu Damai Menuju Indonesia Maju.” Tema yang begitu heroik, meski penerapannya dari pucuk tertinggi sampai petugas di bawah sangat berat.
Presisi, kata yang kerap digemakan oleh pasukan cokelat ini. Dalam KBBI, presisi sendiri berarti ketepatan atau ketelitian. Ibarat meletakkan sesuatu tepat di tempatnya, tanpa tergeser sedikitpun. Artinya, polisi diharapkan tidak melakukan kesalahan dan bekerja dengan baik. Meski selama dua tahun terakhir begitu banyak oknum polisi yang mencoreng arang di kening institusinya sendiri. Tidak hanya pangkat rendah, para jenderal juga berulah.
Sementara kepolisian menyebut Presisi Polri adalah kebutuhan akan sebuah sistem dalam menyatukan seluruh layanan data, memberikan kemudahan dalam membuat/membangun sebuah layanan baru, mengintegrasikan layanan yang telah ada dan membuat sebuah standarisasi layanan dari hulu hingga hilir. Artinya sama, polisi akan bekerja sesuai apa yang ditugaskan pada mereka. Dalam musim kontestasi politik ini, ya mereka harus profesional dan utamanya netral.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Polri untuk berhati-hati dalam bekerja. Sebab, kata dia, di era digitalisasi semua tindakan polisi bisa direkam dan disebarluaskan. Hal ini disampaikan Jokowi saat menyampaikan amanat dalam upacara HUT Bhayangkara ke-77 di Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta Pusat.
“Sekarang ini segala sesuatu bisa direkam, bisa disebarluaskan, gerak-gerik Polri sekecil apapun tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Oleh karena itu, Polri akan diuji melalui seberapa tinggi kepercayaan dan kepuasan rakyat. kepercayaan rakyat menjadi hal penting bagi Polri. Saya senang kepercayaan rakyat kepada Polri sudah naik dari 60 persen menjadi di atas 70 persen. Namun, terus memperbaiki diri dan berbenah. Sebab, semua program pemerintah butuh dukungan Polri. Kewenangan Polri sangat besar dan harus digunakan secara benar,” kata Jokowi.
Berat memang apa yang dipesankan oleh Jokowi kepada Polri. Jadi, jangan lagi terdengar hal-hal receh dari kepolisian. Mulai dari viral tilang ilegal, KDRT, perselingkuhan dan lainnya. Apalagi jelang Pemilu, jangan ada lagi polisi yang menjadi tim sukses salah satu calon, baik Pilpres maupun legislatif. Masyarakat sudah jengah dengan polisi-polisi seperti ini. Yang tidak memberikan contoh yang baik.
Apalagi hari ini, begitu banyak pensiunan polisi yang ingin tampil di Pemilu legislatif. Menjadi Caleg dari tingkat Kabupaten Kota sampai pusat. Bahkan ada yang sengaja pensiun “muda” untuk masuk ke dunia politik. Ada yang baru pensiun satu sampai dua tahun, atau di bawah lima tahun. Mereka sudah mulai tebar pesona menggaet masyarakat. Memasang alat peraga kampanye dengan logo partainya, meski beberapa tahun lalu masih memasang baliho berseragam lengkap polisi.
Pastinya, para polisi yang maju ke politik ini masih punya “anak buah” atau kolega yang berstatus aktif. Bukan tak mungkin oknum-oknum polisi ini masih bisa dipengaruhi oleh mantan atasan mereka. Sehingga tema HUT netral dalam Pemilu ini akan jadi sekadar tema saja. Tak bisa dilaksanakan dan itu akan begitu nyata terlihat oleh rakyat. Angka kepercayaan yang sekarang naik, bisa-bisa akan anjlok kembali. Mungkin perlu dikaji, berapa tahun seorang polisi bisa terjun ke dunia politik setelah pensiun atau berhenti.
Padahal, polisi bagi masyarakat adalah orang-orang yang diharapkan perannya dalam membangun negeri ini. Memastikan keamanan, kenyamanan dan sejenisnya. Bolehlah presisi, tapi tetap fokus untuk masyarakat. Bukan untuk yang berkepentingan dan punya uang selangit yang membuat pangkat dan jabatan oknum polisi jadi tak berarti. Cukup sudah sejarah buruk soal oknum polisi buruk.
Secara teoritis pun, salah satu syarat utama terciptanya konsolidasi demokrasi adalah otoritas sipil yang semakin kuat disertai pengawasan parlemen yang optimal dan terciptanya aktor keamanan (militer dan polisi) yang profesional. Profesional yang berarti militer dan polisi tidak terlibat atau melibatkan diri dalam bidang politik. Hal ini jadi indikator utama dalam melihat bagaimana kualitas konsolidasi demokrasi.
Apalagi profesionalisme aktor keamanan sejalan dengan sistem pemerintahan demokrasi. Namun dalam konteks Indonesia, salah satu tantangan yang dihadapi di era transisi demokrasi adalah upaya menciptakan profesionalisme aktor-aktor keamanan agar tidak lagi terlibat dalam ranah politik atau lazim disebut netralitas TNI dan Polri.
Polri mengemban fungsi keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat termasuk dalam hal ini menjaga keamanan Pemilu dan Pilpres 2024. Polri juga memiliki fungsi preventif untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan, khususnya dekat-dekat dengan musim kontestasi atau peralihan kekuasaan ini.
Secara umum fungsi ini dijalankan oleh setiap anggota Polri, namun secara khusus fungsi preventif berupa deteksi potensi gangguan keamanan sampai di tingkat desa melekat pada anggota Babinkamtibmas di lingkungan masyarakat. Jangan sampai para “Pak Babin” pula yang nanti terlibat dalam politik langsung ini.
Jangan sampai ketika Hari Bhayangkara, semua hanya akan merindukan Hoegeng saja. Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5. Hoegeng terkenal sebagai polisi paling berani dan jujur di Indonesia oleh media dan masyarakat.
Jangan sampai apa yang diungkapkan Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid ini menjadi kenyataan. “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Selamat ulang tahun Polri. Semoga lebih baik. (Wartawan Utama)