Oleh: Reviandi
Setelah menolak gugatan perubahan sistem Pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali naik daun dalam perbincangan publik. Kali ini masih terkait dengan politik, meski tak terlalu dekat dengan Pemilu 2024 atau Pilpres 2024. Tiba-tiba saja, ada dua orang yang menggugat ke MK terkait tidak adanya batasan jabatan ketua umum partai politik (Ketum Parpol). Keduanya, warga Nias bernama Eliadi Hulu dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Saiful Salim.
Menarik sebenarnya masalah ini, karena mungkin tak pernah mengapung, tapi sangat “dirindukan” mayoritas kader partai. Bagaimana tidak, dengan tidak adanya “darah” atau “trah” dari pendiri partai, sangat banyak kader yang tidak akan menemukan format terbaiknya dalam partai, yaitu menjadi ketua umum. Paling tinggi, jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) saja sudah syukur. Itupun kalau tidak keduluan sama orang “dalam” pendiri partai.
Kita lihat dulu, seperti apa gugatannya. Dua orang itu telah menyampaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan diajukan Eliadi Hulu dan Saiful Salim yang diregistrasi dengan Nomor 69/PUU-XXI/2023 tanggal 27 Juni 2023. Uji materi dilakukan pada Pasal 23 Ayat (1) UU No 2/2011.
Dalam permohonan yang diregistrasi, para pemohon menjelaskan, alasan permohonan di antaranya UU Parpol wajib memerintahkan pengaturan pembatasan masa jabatan pimpinan parpol dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Pengaturan pembatasan periodisasi pimpinan parpol dipandang perlu karena implementasi dari parpol sebagai instrumen, pilar demokrasi, dan pelaksana kedaulatan rakyat. Para pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 23 Ayat (1) UU No 2/2011 bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai bahwa pergantian kepengurusan parpol di setiap tingkatan dilakukan sesuai AD/ART.
Khusus untuk ketua umum atau sebutan lainnya, AD/ART wajib mengatur masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Artinya, paling lama seseorang menjadi Ketum Partai hanya 10 tahun, baik secara langsung ataupun diselingi ketua lainnya.
Mungkin ini pulalah yang menjadikan banyak kader partai yang malu-malu kuncing mendukung gugatan itu. Karena, akhir-akhir ini, partai-partai besar cenderung menjadi lebih feodal dan bersifat kekeluargaan dalam menentukan siapa calon ketua umumnya. Bahkan, ada yang ketua umumya tidak berganti sejak didirikan seperti PDI Perjuangan dengan ketuanya Megawati Soekarnoputri.
Sampai hari ini, tidak ada batasan sampai kapan Mega menjadi Ketum PDIP. Bahkan, kekuasaannya di partai begitu absolut sampai menentukan sendiri siapa calon Presiden dan Wakil Presiden dari partainya. Sampai hari ini, baru Capres Ganjar yang diumumkan, sementara Cawapres masih dipikirkan Mega. Kalaupun sudah di kantong, entah kapan akan diumumkan.
Selain itu, juga ada Partai Demokrat yang ketuanya hanya berasal dari trah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang katanya bukan pendiri tunggal partai, tapi salah satu tokoh yang mendirikan saja. Setelah SBY lengser dari jabatan Ketum, anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) “naik tahta” sampai saat ini. Mungkin, AHY akan terus memimpin partai ini, karena tidak adanya pembatasan masa jabatan ketum pada partai.
Begitu juga sejumlah partai lain yang mulai mendekati kekuasaan abadi seperti Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto, NasDem dengan Surya Paloh, PKB dengan Muhaimin Iskandar atau PBB dengan Yusril Ihza Mahendra. Seperti diketahui, Prabowo adalah symbol dan pendiri Gerindra, jadi mustahil akan diganti. Begitu juga dengan Yusril di PBB dan Surya Paloh di NasDem. Sementara Muhaimin sebenarnya tidak punya kekuatan itu, karena sempat “berebut” pimpinan PKB dengan anak pendiri PKB Gusdur, yaitu Yenny Wahid.
Soal jabatan ketua umum partai yang minta dipergilirkan ini, sebenarnya sudah ada contohnya dari zaman order baru (Orba) dulu. Partai Golkar yang disebut penguasa “tunggal” dan hanya didampingi partai “boneka” tidak pernah menjadikan ketua umumnya itu ke itu saja. Meski, Golkar sendiri sejatinya hanyalah alat dari penguasa tunggal Orba, Presiden ke-2 H Soeharto.
Lihat saja, siapa yang memimpin Partai Golkar sejak tahun 1983 lalu. Sudharmono 1983-19888, Wahono 1988-1993, Harmoko 1993-1998, Akbar Tanjung 1998-2004, Jusuf Kalla 2004-2009, Aburizal Bakrie 2009-2015, Setya Nofanto 2015-2017 dan Airlanga Hartarto 2017 sampai sekarang. Sebuah pelajaran yang sangat berharga, tak ada ketua yang menjabat dua periode, dan tak ada pula yang merupakan keluarga dekat Soeharto.
Bukan bermaksud memuji Golkar yang banyak dihujat setiap kali berlangsungnya Pemilu sampai 1997 lalu. Golkar yang katanya telah memanipulasi Pemilu setiap lima tahun sekali untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Soeharto. Yang sebenarnya Golkar itu sendiri adalah Soeharto itu sendiri. Tanpa Soeharto Golkar bukan apa-apa, meski tanpa Golkar, Soeharto tetap penguasa.
Alasan terbanyak yang beredar adalah, jabatan ketua partai tidak sama dengan ketua lembaga negara atau lembaga nonpemerintah lainnya. Banyak partai yang dibangun oleh orang perorangan atau kelompok saja. Untuk memastikan mereka bisa mendapatkan kekuasaan yang tidak bisa didapat dari partai mereka sebelumnya. Jadi, ketika besar, kenapa harus pula menggilirkannya kepada orang lain yang belum tentu akan mencintai partai seperti mereka.
Karena itulah, Golkar menjadi partai yang banyak “melahirkan” partai politik lain. Karena para kadernya “gagal” menjadi ketua umum, maka mereka beralih mendirikan partai. Seperti Prabowo mendirikan Gerindra, Surya Paloh mendirikan NasDem dan Wiranto mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Dari tiga nama ini, hanya Wiranto yang “tersingkir” dari partai yang didirikannya dan sekarang diketuai Osman Sapta Odang (OSO). Wiranto juga telah menyebar kader-kader terbaiknya di partai lain, utamanya Gerindra dan Golkar.
Sekarang, biarlah MK kembali yang akan mengumumkan apa yang sebenarnya lebih baik untuk sistem partai politik di Indonesia. Apakah pembatasan masa jabatan ketua umum ini solusi atau bagaimana. Kalau saja MK mengabulkan, niscaya akan terjadi perubahan di tubuh partai politik dalam 5 atau 10 tahun ke depan. Karena para ketum akan berganti dengan wajah-wajah baru, meski yang dipilih kemungkinan masih kolega atau kerabat dari ketum lama.
Seperti halnya Amien Rais yang kini begitu getol dengan partai barunya, Partai Ummat. Amien adalah pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), dan harus tersingkir dari partai yang dibesarkan dan membesarkan namanya itu. Amien kini bekerja keras membesarkan kembali partai barunya itu. Mungkin itu juga bisa akan terjadi kepada Prabowo, Mega, atau Surya Paloh di masa depan. Kita tunggu sajalah.
Artinya, akan ada peluan jumlah partai akan terus bertambah dari Pemilu ke Pemilu. Mari kita ingat kembali apa kata mantan Perdana Menteri Indonesia Sutan Syahrir, “Partai itu tidak perlu banyak anggota, sedikit saja jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori perjuangan.” Jadi, terserah kita, banyak atau sedikit partai. Banyak atau sedikit anggota. (Wartawan Utama)