Oleh: Reviandi
Memasuki tahun ajaran baru, sebagian besar orang tua murid akan dipusingkan dengan biaya seragam sekolah anak yang terus naik. Yang anaknya cuma sekolah satu orang saja sudah pusing, apalagi yang punya dua, tiga, empat dan seterusnya. Uang yang harus disediakan untuk seragam ini jumlahnya fantastis, bisa sampai Rp500 ribu sampai 1 juta per anak.
Dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, pastinya akan membuat masyarakat kian terpukul. Belum lagi sistem penerimaan siswa baru yang “amburadul” dan menyisakan banyak masalah dari tahun ke tahun. Masalah zonasi dan tidak siapnya server sampai “katepelece” dari para pejabat dan anggota dewan masih menjadi masalah utama tahun 2023.
Seragam sekolah adalah masalah lain yang telah menanti kalau anak diterima di sekolah negeri. Ada yang “mewajibkan” dibeli di sekolah, ada juga yang tidak. Tapi hanya memberikan arahan bagaimana seragam, baik bahan, warna dan unsur keseragaman lainnya. Di mana dibeli ya terserah, yang jelas jangan sampai anak tak mau sekolah karena bajunya berbeda.
Tak heran, setiap tahun ajaran baru masuk, masalah seragam sekolah ini menjadi bagian besar dan sangat menyusahkan. Kalau tak dibelikan anak susah sekolah, kalau agak berbeda atau lebih murah dia tak mau pakai dan lainnya. Menurunkan baju seragam dari yang sulung ke anak berikut dan seterusnya juga akan susah. Apalagi ada pula baju batik seragam per angkatan yang tiap tahun berubah.
Masalah ini juga kembali jadi hal yang dipersoalkan oleh Ombudsman Sumbar. Lembaga yang terbentuk berdasarkankan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan DPR 9 September 2008. Lembaga penerima keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Lembaga ini akan menindaklanjuti laporan tersebut dan melakukan penyelidikan.
Ombudsman Sumbar bahkan membuka posko layanan pengaduan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Pelajaran 2023-2024. Kepala Perwakilan Ombudsman Sumbar, Yefri Heriani menyebut, seperti biasa, mereka selalu punya atensi khusus dalam melakukan pengawasan pelaksanaan PPDB setiap tahun,” katanya.
Menurut Yefri, PPDB merupakan layanan yang bersifat massal setiap tahun. Orang tua memasukkan anaknya ke TK, SD, SMP, SMA, termasuk sekolah keagamaan, hingga Perguruan Tinggi. Melibatkan banyak penyelenggara, mulai dari Dinas Pendidikan (Disdik) hingga Satuan Pendidikan, juga melibatkan beberapa Kementerian. Seperti, Kementerian Agama (Kemenag) dan Pendidikan. Kemudian, ada juga satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh swasta. Ada banyak potensi maladministrasi. Mulai dari tidak memberikan pelayanan, penyimpangan prosedur, hingga permintaan uang saat mendaftar ulang.
Namun, dari 19 Kabupaten dan Kota di Sumbar, ada satu daerah yang memikirkan masalah masyarakatnya ini dengan baik. Yaitu di Kabupaten Solok Selatan (Solsel) yang menggratiskan seragam sekolah untuk para siswa. Dimulai sejak 2021 sampai tahun ini. 2021, Solsel menganggarkan Rp 1,1 Milyar untuk seragam gratis bagi siswa baru SD dan SMP. 2022 dialokasikan p2,5 miliar.
Bahkan pemberian seragam gratis tersebut tidak hanya bagi siswa baru SD dan SMP, tapi juga untuk siswa baru Madrasah, SMA, SMK di Solok Selatan. Tingkatan SMA yang sebenarnya adalah tanggung jawab dari Pemprov Sumbar. Ada sekitar 19.000 stel yang terdiri dari seragam putih dasar dan pramuka dibagikan kepada para siswa.
Sementara, di tahun 2023 pembagian seragam gratis masih berlanjut dengan alokasi anggaran mencapai Rp4,5 miliar bersumber dari APBD Solok Selatan. Seragam gratis diberikan kepada siswa mulai dari PAUD hingga SMA. Menurut Bupati Solsel Khairunas, seragam sekolah gratis juga menyasar sekolah di luar naungan Pemkab Solsel.
Apa yang dilakukan Bupati Khairunas itu memang sangat out of the box, tapi sangat memecahkan masalah. Saat warganya yang kebanyakan petani dan pekebun sangat kesusahan membeli seragam, politisi Partai Golkar itu hadir dengan solusinya. Mungkin ini akan membuatnya semakin kokoh dan susah dikalahkan pada Pilkada berikutnya 2024.
Dilihat dari sisi anggaran, Pemkab Solsel hanya mengeluarkan Rp4,5 miliar untuk memberikan seragam semua siswa baru mereka. Jumlah yang tak akan merusak APBD mereka yang hampir Rp1 triliun. Sejatinya, ini adalah langkah yang dipikirkan masak-masak oleh seorang kepala daerah, dan dieksekusi dengan baik untuk kebaikan masyarakat.
Meski Khairunas sendiri bukanlah satu-satunya Bupati yang memberlakukan pemberian seragam gratis ini di Indonesia, programnya patut diapresiasi. Setidaknya, masalah seragam sekolah yang menjadi beban orang tua, utama yang anaknya masuk sekolah baru akan teratasi. Karena, beban ini benar-benar berat dan sangat banyak dikeluhkan dari tahun ke tahun. Solusi yang ditawarkan begitu “sempurna” dan patut mendapat pujian.
Mungkin kalau dikaitkan dengan musim kurban tahun ini, bisa saja jumlah sapi kurban dan orang yang berkurban di Solsel meningkat. Karena, banyak yang mengaku tahun ini terpaksa tidak berkurban, karena bertepatan dengan masuknya tahun ajaran baru. Biaya 1/7 sapi kurban yang sekitar Rp2,5 sampai 3 juta saja tidak bisa dibayarkan dengan alasan itu.
Seragam gratis dari pemerintah ini memang tidak sesempurna itu, karena akan ada pihak yang merasa dirugikan juga. Seperti yang terungkap di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Sejak kebijakan itu diterapkan, jual beli seragam sekolah di pasar-pasar langsung sepi. Pedagang mengeluhkan tidak kuatnya daya beli masyarakat karena sudah “dimanjakan” pemerintah.
Begitu juga yang terjadi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkeb), Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan daerah lain yang menerapkan kebijakan itu. Tapi, itu sebenarnya bisa disiasati, kalau pemerintah setempat lebih dulu membeli seragam kepada para pedagang. Atau minimal melibatkan mereka dalam pengadaan seragam.
Lagipula, yang diberikan seragam gratis itu mayoritas hanya siswa baru, bukan semuanya. Masih ada siswa yang naik kelas yang akan membutuhkan seragam baru. Jadi, dampak ini bukanlan dampak ekstrem yang menghambat kebijakan ini diterapkan oleh darah lain. Minimal 18 Kabupaten dan Kota di Sumbar yang bisa mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Pemkab Solsel.
Dalam Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022, sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan atau memberikan pembebanan pada orang tua atau wali siswa untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas maupun saat penerimaan siswa baru. Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya juga bisa dilibatkan dalam seragam sekolah. Jadi, kenapa tidak apa yang dilakukan Pemkab Solsel ini menjadi contoh.
Soal seragam sekolah, mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah berujar, ”Seragam tidak menghilangkan individualitas. Sebaliknya, mereka perlahan-lahan mengajari anak-anak muda kita salah satu pelajaran hidup yang paling penting: bahwa yang benar-benar penting adalah siapa anda dan menjadi apa anda di dalam. Bukan apa yang anda kenakan di luar (seragam).” Jadi, jangan lagi masalah seragam jadi masalah utama setiap tahun, tapi isi kepala dan hati anak-anak kita adalah segalanya. (Wartawan Utama)