Oleh: Reviandi
Politisi PDI Perjuangan yang juga anggota Komisi 1 DPR RI Effendi Simbolon menuai pro dan kontra saat menyampaikan dukungannya kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi Presiden 2024. Padahal, partainya telah menyatakan dukungan kepada Ganjar Pranowo pada 21 April 2023, langsung diumumkan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Kini, masalah ini kian meruncing saat PDIP menyatakan keberatan dan akan segera memanggil Effendi ke DPP. Effendi menyebut, ketika ditanyakan kepadanya secara pribadi, dia memilih Prabowo sebagai Capres. Namun, kalau partainya telah menentukan, maka dia pastinya akan mendukung Ganjar Pranowo yang telah dideklarasikan.
Pernyataan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai Presiden itu disampaikannya dalam acara Rakernas Marga Simbolon di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta Pusat akhir pekan lalu. Sementara Prabowo sendiri tak mau ikut campur soal Effendi. Prabowo tak mau ikut campur urusan partai lain, dan memilih diam saat dihubungi wartawan usai acara Konsolidasi Akbar Kader Gerindra Tangerang Raya, Minggu (9/7).
Apa yang akan terjadi kepada Effendi karena pernyataannya itu memang menarik untuk ditunggu. Apalagi, pria dengan nama lengkap Dr ffendi Muara Sakti Simbolon, M.I.Pol adalah politikus PDIP yang menjabat anggota DPR RI empat periode sejak 2004. Effendi sangat dikenal saat menjabat sebagai wakil ketua komisi VII yang fokus pada bidang permasalahan Energi Sumber Daya Mineral, Riset, Teknologi dan Lingkungan Hidup hingga 2013.
Sejak 2019 menjadi anggota Komisi I DPR. Berasal dari Daerah pemilihan DKI Jakarta I pada Pemilu 2004 dan pindah ke KI Jakarta III pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019. Dia cukup vokal menyuarakan hak-hak masyarakat, terutama di Dapilnya, juga di kampung asalnya Sumatra Utara (Sumut).
Sebenarnya, Effendi mendukung Prabowo ini hanya secara pribadi. Tapi masalahnya, dia mengucapkannya ke publik dan membuat partainya merah. Andai dia anteng dan diam-diam saja, niscaya dia tidak akan bermasalah, karena antara kader PDIP dan Gerindra sebenarnya bisa saja berpindah dukungan. Apalagi, kedua partai ini pernah berkoalisi pada Pilpres 2009 dengan mengusung Megawati-Prabowo Subianto.
Setelah kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK), hubungan kedua partai ini memang agak renggang. Apalagi, pada Pilpres 2014 dan 2019, PDIP dan Gerindra berperang. Gerindra kokoh dengan Capres Prabowo, sementara PDIP naik dengan Joko Widodo (Jokowi).
Akhirnya, dua Pilpres itu dimenangkan oleh Jokowi dan PDIP menguasai Pileg dan parlemen DPR RI. Tapi, hubungan itu kembali mesra usai Pilpres 2019, saat Presiden Jokowi mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Ada bahasa islah atau rekonsiliasi nasional. Demi Indonesia yang utuh, tak pecah belah, apalagi menghadapi pandemi Covid-19.
Sepanjang 2019 sampai hari ini, kemesraan antara Jokowi dan Prabowo semakin terlihat. Berkali-kali Jokowi seperti memberikan sinyal mendukung Prabowo, bahkan sampai menyatakan 2024 “jatah” Prabowo menjadi Presiden. Hal itu mulai mereda ketika PDIP mengumumkan kadernya yang sekarang menjadi Gubernur Jawa Tengah (Jateng) sebagai calon Presiden.
Jokowi saat ini malah disebut sangat mendukung Prabowo, meski partainya tak menyatakan hal yang sama. Ada pula yang berspekulasi, anak Jokowi yang saat ini menjadi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka disiapkan menjadi calon Wakil Presidennya Prabowo. Sejumlah politisi muda tengah melakukan gugatan ke MK terkait umur Capres-Cawapres.
Karena pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden. Adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Para penggugat menginginkan hal itu diubah menjadi 35 tahun, “sesuai” dengan usia Gibran yang lahir pada 1 Oktober 1987, atau 36 tahun saat pendaftaran Capres-Cawapres November 2023.
Jadi, apakah masalah Effendi Simbolon akan mengubah hubungan PDIP dan Gerindra, mungkin saja tidak. Pernyataan dukungan itu tidak diamini atau disambut hangat oleh Gerindra. Prabowo dan para tokoh Gerindra memilih tidak mau ikut campur dalam masalah ini. Mereka tahu, hal ini akan diselesaikan dengan baik oleh PDIP. Sama seperti Gibran yang dua bulan lalu sempat terindikasi mendukung Prabowo dan dipanggil PDIP. Semua berjalan aman dan tuntas.
Membaahas dua partai ini, sebenarnya di Sumbar terjadi juga “hijrah” kader Gerindra ke PDIP dan sebaliknya. Seperti Bupati Pesisir Selatan (Pessel) Rusma Yul Anwar yang disebut telah pindah menjadi kader PDIP beberapa bulan lalu. Padahal, Rusma sebelumnya adalah Ketua DPC Partai Gerindra Pessel dan dicalonkan koalisi Gerindra dan PAN saat Pilkada Pessel 2020.
Banyak spekulasi yang menyebut, Rusma pindah ke PDIP karena ingin aman dari kasus yang diduga masih menjeratnya. Tapi, dia sendiri di berbagai kesempatan membantahnya. Dia tak mau mengaitkan pilihan politiknya dengan masalah-masalah pribadinya, termasuk kasus hukum yang pernah menjeratnya.
Di sisi lain, Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman mengakui kepindahan Rusma dari Gerindra ke PDIP. PDIP, katanya, adalah partai terbuka. Yang terpenting, seseorang yang bergaung harus menuruti aturan dan ideologi PDIP. Katanya, PDIP sangat membuka bergabungnya Rusma. Bahkan Rusma disebut juga turut mendorong keluarganya nyaleg di PDIP 2024 ini.
Kepindahan Rusma itu sebenarnya bukan hal baru di Sumbar. Bahkan, sejumlah kader PDIP juga pernah ada yang menyeberang ke Partai Gerindra dan sekarang duduk di DPRD Sumbar dan DPRD Padang. Seperti Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Sumbar Hidayat yang pernah menjadi caleg PDI Perjuangan pada Pemilu 2009 lalu. Juga Ketua DPRD Padang Syafrial Kani yang pernah menjadi ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Sumbar yang merupakan salah satu sayap keislaman PDIP.
Keduanya, baik Hidayat ataupun Syafrial Kani kini begitu konsisten dengan partainya dan menyatakan mendukung penuh Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 mendatang. Meski sudah dua periode, Hidayat akan kembali maju ke DPRD Sumbar dari Dapil 1 (Kota Padang), sementara Syafrial Kani naik kelas ke DPRD Sumbar di Dapil yang sama dengan Hidayat. Mereka berpeluang besar mengisi kursi Gerindra 2024, apalagi dengan pindahnya incumbent Desrio Putra ke DPD RI.
Jadi, pasang surut hubungan antara PDIP dan Gerindra ini akan hilang seiring dengan waktu berjalan. Pernah juga ada Wakil Ketua Umum Gerindra Arif Poyuono yang begitu gigih membela Jokowi, bahkan sebelum Prabowo bergabung. Banyak kader Gerindra yang geram sampai akhirnya namanya hilang dari pengurus DPP Gerindra. Kini, secara pemerintahan dua partai ini kokoh dalam mengurus Indonesia.
Jelang Pilpres 2024, Prabowo, Ganjar, PDIP, Jokowi dan Megawati akan terus bersentuhan, baik akan saling berlawanan kembali, atau malah bergabung. Andai mereka bergabung, maka hampir dipastikan Pilpres akan berat untuk pihak lain. Apalagi menduetkan Prabowo-Ganjar atau Ganjar Prabowo. Sungguh calon lain harus bekerja ekstra keras, kalau tidak mau kalah satu putaran saja.
Terlepas dari hubungan ini, kita semua harus memastikan apa yang terjadi di antara keduanya adalah asam manis dinamika kehidupan demokrasi di Indonesia. Seperti yang disebutkan Buya HAMKA, “Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan yang kemudian anda dapat.” Jadi, semoga selalu ada alasan untuk rakyat, saat PDIP dan Gerindra kadang seiring, kadang berbeda pandangan. (Wartawan Utama)