Oleh: Reviandi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menyelesaikan tugasnya pada 20 Oktober 2024 mendatang, sekitar setahun lebih sedikit. Banyak hal yang telah dilakukan baik di dalam dan luar negeri. Di luar negeri, Jokowi kini kian terhimpit dengan semakin kerasnya perlawan Eropa terhadap gempuran ekspor kelapa sawit, utamanya dari Indonesia dan Malaysia.
Ya, dua negara serumpun ini adalah negara dengan produksi sawit terbesar di dunia. Dari data yang ada, Indonesia pada 2022 memproduksi 45,5 juta ton, Malaysia 18,8 juta ton, Thailand 3,26 juta ton, Kolombia 1,8 juta ton dan Nigeria 1,4 juta ton. Jangan senang dulu, meski diproduksi di Indonesia, sebagian sawit itu juga dimiliki oleh pengusaha asing dari Malaysia dan Singapura.
Terlepas dari berapa kelapa sawit yang murni milik Indonesia, saat ini negara sedang menghadapi kenyataan pahit terkait ekspor sawit. Karena, Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 telah meresmikan Undang Undang Deforestasi atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR). Kebijakan baru dapat membunuh produk sawit Indonesia.
UU itu dibuat untuk mencegah perusahaan atau negara menjual kopi, daging sapi, kedelai, karet, minyak sawit, dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi atau pembabatan hutan.Perusahaan harus membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan atau didenda hingga 4 persen dari omzet mereka di negara anggota UE.
Uni Eropa disebut memberlakukan UU Antideforestasi yang bisa menjegal minyak sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, daging, dan kayu serta produk turunannya. Hal ini demi melindungi para petani kedelai dan bunga matahari di kawasan itu. Kedua tanaman tersebut adalah juga penghasil minyak nabati seperti kelapa sawit.
Karena, para petani di Eropa merasa kelapa sawit bisa menggantikan dengan tepat apa yang mereka produksi. Didapat dengan harga yang lebih murah dengan produksi yang melimpah tiada batas. Tapi, begitulah Eropa yang benar-benar mau menang sendiri. Mereka dengan alasan deforestasi, tetap melindungi para petani mereka yang sekarang sangat takut dengan terus masuknya produk kelapa sawit dan turunannya.
Apa yang dilakukan Eropa ini, kalau kita berada di pihak mereka tidaklah salah. Melindungi para petani “modern” mereka dari gempuran barang-barang negara berkembang yang masuk. Barang yang bisa membuat para petani Eropa gulung tikar dan membuat ekonomi mereka terancam. Meski secara langsung, tak pernah mereka mengakui hal itu. Berlindung dari “pembabatan” hutan adalah kata yang paling tepat dilakukan.
Jadi, meskipun Indonesia dan para negara penghasil CPO lainnya terpukul dengan UUAntideforestasi yang mulai berlaku penuh Mei 2023 lalu, Uni Eropa tak mau bersuara. Para Menteri Indonesia mulai menyatakan penolakan mereka terhadap UU itu. Bahkan informasinya, mewakili Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sudah mendatangi Uni Eropa berupaya untuk menegosiasikan kebijakan tersebut.
Jika UU itu dibiarkan dan tidak ada “perlawanan” berarti dari Indonesia dan negara-negara produsen sawit lainnya, maka Indonesia akan kesusahan. Apalagi, produksi sawit Indonesia mencapai 45,58 juta ton pada 2022 dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah tersebut meningkat 1,02% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 45,12 juta ton.
Melihat trennya, produksi kelapa sawit Indonesia menunjukkan tren meningkat. Rekor produksi terbanyak dalam satu dekade terakhir mencapai 47,12 juta ton pada 2019. Secara rinci, kelapa sawit yang berasal dari perkebunan besar sebanyak 30,06 juta ton pada 2022. Sementara, 15,52 juta ton kelapa sawit berasal dari perkebunan rakyat.
Adapun, produsen kelapa sawit Indonesia berada di 26 provinsi. Provinsi yang paling banyak memproduksi kelapa sawit adalah Riau yang mencapai 8,97 juta ton pada tahun lalu. Kalimantan Tengah menyusul di urutan kedua dengan produksi sebanyak 7,04 juta ton. Lalu, Sumatera Utara (Sumut) memproduksi kelapa sawit sebanyak 5,99 juta ton pada 2022.
Di sisi lain, Kepulauan Riau menjadi provinsi yang paling sedikit memproduksi kelapa sawit, yakni 16.100 ton. Di atasnya ada Maluku Utara dan Maluku yang masing-masing memproduksi kelapa sawit sebanyak 16.300 ton dan 17.000 ton. Sumbar sendiri, bisa memproduksi 681.431,79 ton pada 2022. Di Sumbar, sawit paling banyak diproduksi di Pasaman Barat (Pasbar) 386.512 ton, Dharmasraya 103.279 ton dan Solok Selatan (Solsel) 43.878,92 ton.
Sekarang, melihat bagaimana pentingnya sawit dalam menunjang perekonomian Indonesia, langkah Jokowi dirasa sangat penting. Apakah akan membiarkan “politik” luar negeri Eropa itu akan menghancurkan produksi sawit yang semakin meningkat setiap tahunnya di Indonesia. Apalagi sekarang, begitu banyak lahan baru yang dibuka, dan juga replanting atau peremajaan sawit dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Salah satu yang sedang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di seluruh Indonesia.
Jokowi, saat melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Komisi Uni Eropa (UE) Ursula von der Leyen di sela-sela KTT G7 di Jepang, Mei 2023 lalu. Jokowi menyampaikan keberatan Indonesia pada kebijakan Anti Deforestasi yang telah dijadikan Undang-undang oleh Uni Eropa. Sejak awal pembahasan kebijakan ini menjadi UU, Indonesia telah menyampaikan keberatan atas regulasi tersebut.
Menurutnya, regulasi tersebut dapat menghambat perdagangan Indonesia dengan Eropa, khususnya pada komoditas kelapa sawit yang selama ini jadi andalan perdagangan Indonesia. Kebijakan itu juga disampaikan Jokowi dapat merugikan petani kecil di Indonesia.
Jokowi dalam forum yang sama juga menyampaikan Indonesia berhasil menekan laju deforestasi di Indonesia hingga 75%, meskipun Indonesia terus menerus bertumpu pada komoditas kelapa sawit perdagangannya. “Proses benchmarking dengan cut of date mulai 2020 harus betul-betul terbuka dan obyektif. Sebagai informasi, laju deforestasi Indonesia 2019-2020 telah turun 75% menjadi 115 ribu hektare. Ini laju terendah sejak 1990 dan terus alami penurunan,” kata Jokowi.
Jokowi menyampaikan, Indonesia dan Malaysia akan melakukan misi bersama ke Brussels untuk menyampaikan kembali keberatan secara resmi terhadap berbagai regulasi Uni Eropa yang merugikan. Indonesia, kata Jokowi, akan menyampaikan data-data konkret yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi Uni Eropa dan dapat dijadikan bahan pembuatan kebijakan yang objektif dan tidak mendiskriminasi komoditas andalan negara lain.
Andai masalah ini tak selesai sampai Jokowi purnatugas menjadi Presiden, akan sangat dibutuhkan penerus yang cakap bernegosiasi dengan Eropa. Karena, mengubah peruntukan sawit untuk Biosolar dan aneka turunannya di Indonesia, belum akan bisa menggantikan ekspor yang sangat tinggi. Presiden Indonesia yang baru harus paham dengan hal ini. Jangan sampai manut kepada Eropa dan Amerika, yang akan merugikan petani Indonesia.
Para kandidat Presiden, utamanya yang sekarang disebut tiga besar, baik Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, harus memberikan pandangan mereka terkait hal ini. Dari data tahun 2022, ekspor kelapa sawit dan turunannya bernilai USD 40 miliar atau sekitar Rp 600 triliun dari total USD291,98 miliar ekspor Indonesia. Artinya, 13,5 persen ekspor Indonesia berasal dari sawit. Presiden selanjutnya harus berani menentang kebijakan asing yang merugikan. Ingat kata Presiden Soekarno, “Untuk membangun negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun.” Kita tunggu dan lihat sajalah tahun depan. (Wartawan Utama)