Oleh: Reviandi
Banyak yang menyebut, para kandidat DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dan Kota serta DPD yang sedang menjabat, akan mendapatkan keuntungan saat Pemiliu 2024. Banyak “senjata” yang mereka punyai dan dipakai untuk mendapatkan hati masyarakat, sembari mengalahkan lawan-lawan, apalagi yang baru turun ke gelanggang politik.
Mereka yang sedang menjabat ini ada yang menyebutnya incumbent, inkumben atau petahana. Intinya, orang yang sedang berada pada suatu jabatan tertentu. Incumbent merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, incumbent mempunyai padanan kata yakni petahana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, arti petahana adalah pemegang suatu jabatan politik tertentu yang sedang atau masih menjabat.
Lalu, apakah keunggulan menjadi petahana dalam Pileg mendatang? Pastinya adalah begitu banyak program dan dana negara yang bisa digunakan untuk “berkampanye” pada masyarakat. Seperti dana pokok pikiran (Pokir) untuk DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi. Serta program-program kementerian bagi anggota DPR RI di Senayan.
Dengan modal itu, akan sangat banyak masyarakat yang bisa dirayu dan menjadi alasan mengajak mereka memilih kembali. Tidak perlu mengeluarkan dana pribadi untuk meminta suara itu, cukup mengandalkan dana negara. Tapi, tentu harus berpandai-pandai, karena anggaran negara tidak bisa serta merta dibawa seenak kita saja. Ada aturan yang berlaku yang harus dipahami dan ditaati.
Di Kota Padang, saat ini berlomba-lomba anggota DPRD-nya membangun jalan lingkungan dengan Pokir. Bahkan, tak sedikit warga yang mengucapkan terima kasih dengan memasang spanduk atau poster-poster. Intinya, dengan dana itu saja, puluhan atau ratusan masyarakat bisa dikatakan akan kembali memilih incumbent pada Pemilu berikutnya. Kalau pun meleset, mungkin sebagian kecil.
Belum lagi dana-dana lain yang bisa dibagi-bagikan seperti bantuan sosial (bansos), UMKM, dana tunai langsung dan lainnya. Jika untuk menjadi anggota DPRD Padang butuh suara 2000-an, maka jumlah bansos dan UMKM yang dibagikan bisa ribuan juga. Harusnya, ini sudah menjadi modal kuat bagi incumbent di Kabupaten dan Kota dalam menggalang suara.
Tapi itu kalau incumbent banyak berbuat untuk masyarakat, minimal di daerah pemilihannya saja. Kalau cuma jadi anggota dewan 3 D (datang, duduk dan diam), jangan harap akan mendapatkan tuah dari posisinya sebagai anggota dewan. Yang bisa terjadi malah sebaliknya, akan dihujat oleh masyarakat dan jangan harap akan diberikan suara kembali.
Mungkin di Indonesia, atau di Sumbar tidak akan seekstrem warga Meksiko dalam menghukum pejabat ingkar janji. Seperti warga di negara bagian Chiapas, Meksiko bagian selatan. Selain memaksa pejabat mengenakan pakaian wanita di depan umum, warga juga pernah mengikat seorang Wali Kota di tiang di alun-alun kota.
Tahun 2019 lalu, seorang Wali Kota di Siltepec, yang masih masuk negara bagian Chiapas, diikat ke tiang oleh warga setempat yang marah terhadapnya karena tidak menepati janji kampanyenya. Hal ini berawal saat Wali Kota Siltepec yang bernama Pedro Damian Gonzalez Arriaga ini mengunjungi kota La Laguna, di antara beberapa kota lainnya, untuk menaksir kebutuhan konstituennya.
Saat itu, warga meminta tunjangan kesejahteraan dan aspal sepanjang 2 kilometer di jalanan kota La Laguna. Namun Gonzalez menjelaskan bahwa investasi semacam itu akan memicu ketidakseimbangan dalam anggaran pemerintah kota. Gonzalez lantas menawarkan untuk mengaspal jalanan kota sepanjang 1 kilometer saja. Dia juga menyatakan akan berupaya keras mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi tuntutan warga. Dia lantas kembali ke kantornya, tapi diikuti oleh sekelompok warga yang masih tidak puas dengan tawarannya.
Warga kemudian membawa paksa Gonzalez dan empat stafnya keluar kantor, lalu mengikat Gonzalez ke sebuah tiang yang ada di alun-alun utama Siltepec. Kepada wartawan setempat, warga mengakui mereka kesal dengan Gonzalez yang dianggap gagal memenuhi komitmen yang disampaikannya saat kampanye. Beberapa komitmen di antaranya adalah infrastruktur publik dan pengaspalan jalanan, selain proyek-proyek pekerjaan umum lainnya. Warga juga menuduh Gonzalez menggunakan uang rakyat untuk memperindah gedung Balai Kota yang menjadi kantornya.
Andai para incumbent di Indonesia, atau Sumbar juga mendapati hal yang demikian, niscaya mereka tak akan berani ingkar janji kepada konstituennya. Jangankan kepala daerah, para wakil rakyat dari Senayan sampai Kabupaten dan Kota juga tak akan berani main-main. Mereka akan menyelesaikan tugas dan janji-janji saat kampanye. Kalau perlu akan bekerja maksimal untuk masyarakat yang dipimpinnya.
Tapi kenyataannya, rakyat kita bukanlah sebrutal itu. Mereka jarang yang komplain andai pejabat ingkar janji, atau minimal tak menjalankan tugas dengan baik. Kalau sekadar curhat di media sosial saja, asal tak menyinggung secara langsung pribadi pejabat, bakal aman-aman saja. Bahkan terkesan dicuekin dan tidak akan pernah dihiraukan.
Tapi kalau mengkritik terlalu dalam, apalagi pejabat agak kena puncak kadanya, niscaya laporan ke polisi akan dibuat. Jangan harap warga yang melapor akan aman saja, laporan pasti ditindaklanjuti. Bahkan tak jarang warga yang dilaporkan akan dipanggil, meskipun tak sampai disidang atau vonis. Tapi, pelajaran-pelajaran seperti itu sudah cukup membuat warga takut melapor.
Yang terjadi adalah, para incumbent ini tak perlu pula harus habis-habisan menepati janji-janji kampanye mereka. Paling tidak, jelang Pemilu atau Pilkada berikut, habis-habisan lagi mendapatkan simpati masyarakat. Kalau perlu turun dengan berbagai program terkini, ditambah dengan dana-dana lain yang bisa dicairkan. Kalau tak cukup, rogoh kocek agak dalam, agar warga kembali memilih.
Bagi masyarakat, tentu harus lebih bijak dalam menyikapi Pemilu dan Pilpres 2024 ini. Jangan lagi mudah dibeli dengan uang receh, dan memberikan suara kepada orang antah-berantah. Orang yang tidak paham dengan kondisi masyarakat, tapi tahu cara “membeli” suara masyarakat. Memastikan uang, sembako atau lainnya bisa disulap menjadi suara dan terpilih kembali pada periode berikut.
Masyarakat harus berani menghukum incumbent seperti ini. Mereka yang hanya datang ketika Pemilu dan Pilkada akan menjelang saja. Kalau tidak, mereka hanya diam dan menumpuk kekayaan dari uang di lembaga legislatife itu. Uang ini dan itu yang jumlahnya fantastis, dan “haram” jika dibagikan kepada orang lain. Meksi orang itu adalah bagian dari tim yang bergerak mencarikan suara untuknya.
Bagi para wakil rakyat, pastikan kembali plus minus sebagai incumbent ini. Jangan sampai, terlalu banyak minus yang bisa dimanfaatkan oleh orang yang datang belakangan dalam partai. Karena keminusan itu, masyarakat berpaling ke calon lain. Kata lain dari menghukum para wakil rakyat yang tidak bisa menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat. Tak terpilih dan akan kembali menjadi orang biasa yang berstatus mantan pejabat. Pastilah itu tidak enak.
Rakyat tak butuh lagi pencitraan. Apalagi mereka yang sudah apatis dengan politik dan Pemilu ini. Seperti kata penulis Pidi Baiq, “Rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suaranya waktu Pemilu.” Rakyat akan kembali jadi rebutan saat Pemilu tiba. Selain itu, tidak. Sepi saja. (Wartawan Utama)