Oleh: Reviandi
Kata cawe-cawe belakangan semakin familiar terdengar di telinga kita. Padahal, tahun 2022 saja, mungkin masih banyak yang belum mendengar. Ini adalah “tambahan” kosa kata baru Indonesia jelang Pileg dan Pilpres 2024. Kata ini semakin sering terdengar sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengucapkannya beberapa kali dalam berbagai kesempatan.
Dalam KBBI, cawe-cawe diartikan sebagai ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Atau dapat juga disebut bersama-sama mengerjakan sesuatu. Kalau bagi Jokowi, ya turut serta memastikan Pilpres 2024 berjalan aman, damai, tertib dan pastinya demokratis. Soal apakah dia akan turut menentukan siapa calon dan mendukung langsung atau tidak, ya terserah Presiden saja. Rakyat manut deh.
Sebenarnya, cawe-cawe ini juga terdengar di kalangan calon anggota legislatif (Celeg) berbeda tingkatan, dari DPR RI, DPRD Provinsi sampai DPRD Kabupaten dan Kota. Pastinya, seorang caleg DPR RI tak akan sanggup turun langsung di banyak lokasi. Seperti di Dapil 1 Sumbar yang daerahnya mencapai 11 Kabupaten dan Kota.
Satu orang Caleg, untuk turun langsung ke bawah dan bertemu rakyat, membutuhkan waktu yang sangat banyak. Belum lagi modal yang harus disiapkan untuk memastikan semua warga di Dapil itu tahu atau kenal dengannya. Belum lagi memastikan mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos dengan tepat nama atau nomor urutnya.
Jadilah biasanya Caleg pusat akan bertandem dengan satu atau lebih Caleg Provinsi dan Kabupaten/Kota. Mereka akan memasang tanda gambar bersama, baik dua atau tiga orang. Selain tambahan calon Presiden yang diusung partainya, jika itu memungkinkan. Kalau Capresnya dianggap tak akan membantu, bahkan bisa menurunkan peluang, maka tak perlu juga disampaikan.
Nah, jika biasanya calon yang bertandem itu berasal dari parpol yang sama, tak akan jadi masalah. Dipasang pun di berbagai titik di daerah pemilihan (Dapil), tidak akan ada yang marah. Paling antarcaleg satu partai dan satu Dapil yang bisa saja uring-uringan. Karena dianggap calon pusat lebih pro ke rekannya, dibanding dirinya. Akan terjadi juga sedikit “pembelahan” caleg internal partai dari pusat ke daerah.
Namun yang cukup banyak terlihat adalah, bagaimana para caleg lintas partai “menggarap” daerah yang sama. Jadi, ada di satu daerah, pilihan DPR RI, DPR Provinsi dan Kabupaten atau Kotanya dari partai berbeda. Bahkan secara ekstrem, tiga kandidat berasal dari tiga partai berbeda. Percaya atau tidak, hal itu lazim terjadi sejak Pemilu langsung dilakukan di Indonesia.
Di satu kelurahan di Kota Padang pada 2019 misalnya, untuk DPR RI-nya, masyarakat secara umum memilih kandidat dari Partai Gerindra. Sementara DPRD Sumbar memilih kader Partai Golongan Karya (Golkar). Dan pilihan DPRD Kota Padang-nya berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Untuk pilihan DPD, juga orang asli dari kelurahan itu.
Apakah suara itu benar-benar tersalur dengan baik? Dari hasil suara yang diinput dari KPU, memang benar, di sejumlah TPS di kelurahan itu, sebaran suara benar-benar presisi. Tiga orang yang dipilih oleh daerah itu baik Gerindra, Golkar dan PKS benar-benar duduk. Sayang, calon DPD yang mereka dukung tak mendapatkan suara yang signifikan.
Para tokoh masyarakat baik LPM, RW dan RT di daerah itu menyebut, mereka tidak mempersoalkan partai asal kandidat yang didukung. Yang penting, akan berkomitmen untuk membantu pembangunan di daerah itu. Kalau ingkar, maka periode berikutnya dipastikan, ribuan suara itu akan mereka alihkan kepada kandidat lain yang lebih menjanjikan.
Kalau ditelisik lagi, antara PKS, Golkar dan Gerindra 2019 mendukung Capres yang berbeda. PKS dan Gerindra kokoh mendukung pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno. Sementara Golkar mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Artinya, dukungan para warga di lokasi itu benar-benar tidak terpengaruh oleh pilihan Presiden di Sumbar yang memenangkan Prabowo 86 persen dan Jokowi hanya sekitar 14 persen.
Fenomena ini masih akan terjadi pada Pemilu 2024 mendatang. Titik-titik “belantara” itu masih tersebar di mana-mana. Tidak hanya di Kota Padang, tapi juga di seluruh Sumbar, bahkan Indonesia. Idealisme partai politik yang kental, akan hilang dengan “kandak” warga yang bisa menggalang suara dengan baik. Biarlah tak “konsisten” urutan partai dari pusat ke daerah, asal ribuan suara itu tertata dengan elok di TPS ke satu kandidat.
Komitmen-komitmen seperti ini akan berjalan dengan baik andai salah satu kandidat tidak pindah ke target lain. Misal, dari Pemilu ke Pemilu, seorang kandidat tetap berada di DPRD tingkat Provinsi. Tapi kalau memilih naik kelas baik dari Provinsi ke pusat atau Kabupaten/Kota ke Provinsi, alamat “tim” ini akan bubar berantakan. Warga akan dipaksa memilih dua orang yang biasanya bisa mereka coblos semua, jadi satu saja.
Hal itu juga akan membuat cawe-cawe Caleg lintas partai itu akan amburadul, bahkan bisa membelah masyarakat yang biasa kompak itu. Masyarakat akan dipecah, dan diminta memilih salah satu saja. Ini pula yang kemungkinan bisa menggangu suara salah satu calon yang biasanya bulat, akan terbagi-bagi. Harapan untuk mendapatkan kursi juga sedikit oleng.
Cawe-cawe seperti ini juga bisa berdasarkan kesamaan Capres yang diusung. Hari ini misalnya, para Caleg dari PKS, NasDem dan Demokrat bisa bersama-sama “kampanye” dengan membawa Capres Anies Baswedan. Tapi, harus benar-benar pandai “manatiang” jangan sampai yang dibawa retak apalagi pecah. Harus pandai mengukur, siapa yang di pusat, di Provinsi atau Kabupaten dan Kota. Bisa juga sekadar Kota/Kab dengan pusat atau Provinsi saja. Atau Provinsi dengan pusat saja. Jadi, pandai-pandai sajalah.
Bagi caleg yang partainya tidak mengusung Capres yang rasanya mayoritas disukai oleh masyarakat di Dapil, baiknya pilih-pilih lagi. Kalau sekiranya Capres itu tidak membawa dampak baik, ya jangan dipasang dulu fotonya. Biar saja orang pusat itu memaksa-maksa, kalau kita terbawa ke bawah pula, baguslah tidak.
Tapi kalau posisi Capresnya di atas, ya pasanglah gambar tu besar-besar. Kalau perlu puja dan puji setiap hari untuk mendapatkan tuahnya. Efek ekor jas kata orang, coat tail effeck pula katanya. Tak pula kita pungkiri, efek dari calon Presiden itu juga berpengaruh kepada para Caleg. Konon 2014 dan 2019 di Sumbar banyak yang terdongkrak karena Prabowo, tapi di Jawa, kader partai naik kelas pula karena Jokowi.
Fenomena tandem Caleg lintas partai ini adalah bukti kalau pesta ini adalah pesta rakyat. Bukan pesta partai politik, atau sekadar ketua partai dan elite-elitenya saja. Karena partai harus mengalah, andai warga meminta jangan tandem dengan itu, karena pilihan mereka adalah itu. Partai harus mundur selangkah untuk maju berlari membawa suara yang diberikan.
Kompak-kompak saja, toh belum tahu Pemilu berikut di partai yang sama. Bisa-bisa pindah ke partai lain. Karena loyalitas seorang kader partai sangat susah didapat hari ini. Tak dapat nomor urut cantik saja bisa keluar partai dan pindah ke lain hati. Bahkan, tak suka dengan kebijakan partai, ada yang keluar beramai-ramai. Karena partai sejati itu belum ada.
Meski ada yang menyebut partai kader, partai wong cilik, partai dakwah dan lainnya. Semua akan bubar seiring waktu berjalan. Asal kepentingan berbeda, ya minggat. Seniman, ahli matematika dan penulis dari Skotlandia John Arbuthnot pernah mengucapkan, “Semua partai politik akhirnya mati karena menelan kebohongan mereka sendiri.” Kita sudah melihat, bagaimana hal ini perlahan tapi pasti terjadi. (Wartawan Utama)