Banjir Padang Salah Siapa?

Wakil Wali Kota Padang Ekos Albar meninjau lokasi banjir.

Oleh: Reviandi

Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya. Kita mesti tabah menjalani. Hanya cambuk kecil agar kita sadar. Adalah Dia di atas segalanya.

Itu adalah penggalan lirik lagu berjudul “Untuk Kita Renungkan” karya hit milik Ebiet G Ade. Lagu yang bercerita tentang bencana alam yang kerap melanda negeri ini. Sebagai ajakan untuk semua pihak berbenah dan bertindak lebih bijak. Baik kepada diri sendiri, masyarakat banyak, apalagi alam sekitar.

Hujan sepanjang Kamis sore sampai Jumat siang (13-14/7) membuat sejumlah wilayah di Sumatra Barat (Sumbar) terendam banjir. Yang terparah di Kota Padang, ribuan rumah terendam bahkan di Kelurahan Bukit Gado-Gado, Kecamatan Padang Selatan dua orang anak meninggal dunia akibat longsor yang mendera rumah mereka.

Sepanjang Jumat, di media sosial juga berseliweran hujatan kepada Pemko Padang, utamanya Wali Kota Padang Hendri Septa. Hendri yang menggantikan Wako lama, Mahyeldi yang jadi Gubernur Sumbar, dianggap kurang tanggap mengatasi banjir. Apalagi, saat banjir terjadi, Hendri Septa dan banyak pejabat Padang lainnya sedang berada di Makassar, Sulawesi Selatan.

Diketahui, ratusan pejabat yang terdiri dari Kepala Dinas, Kepala Bagian, Camat hingga Lurah itu berkunjung kesana dalam agenda Rapat Keja Nasional Asosiasi Pemerintahan Kota se-Indonesia (Rakernas Apeksi) ke-16. Saat para pejabat sedang berada di luar daerah itulah banjir melanda kota. Mungkin ada juga yang sudah kembali ke Padang satu per satu.

Tapi, dari bocoran Wali Kota Padang Ekos Albar, Wako Hendri Septa masih dalam perjalanan dari Makasar menuju Padang. Dia turun meninjau beberapa titik banjir di kota Padang akibat hujan deras yang turun dari semalam hingga pagi. Ekos disebutkan bergerak dari kediaman Wawako Jalan A Yani. Katanya, ini musibah, tak dapat ditolak lagi.

Untung Hendri Septa saat ini sudah punya Wakil Wali Kota. Kalau tidak, alamat politisi PAN ini akan jadi super bulan-bulanan warga, apalagi netizen. Mereka akan membanding-bandingkan dengan Wali Kota sebelumnya yang selalu hadir saat warga kebanjiran. Meskipun solusi mengatasi banjir di Kota Padang ini belum juga terlihat nyata. Masih sebatas teori-teori saja.

Kota Padang, disebut sebagai kota peninggalan Belanda yang terus berkembang dengan mengambil wilayah Padangpariaman. Namun, perkembangan itu hanya sporadis dan ditambah-tambah begitu saja. Tumpang tindih pengaturan ruang masih terjadi. Begitu banyak bangunan perumahan yang muncul di areal-areal persawahan atau daerah yang dianggap menjadi titik serapan air yang cepat.

Salah satu yang paling sering menjadi kritikan adalah kecilnya drainase dalam kota yang tak sebanding dengan pembangunannya. Bahkan, banyak drainase yang sekarang sudah ditutup oleh warga untuk dijadikan jalan atau lahan parkir. Sehingga, penyerapan airnya benar-benar tak ada. Sebentar saja hujan agak deras, genangan air sudah terjadi.

Hujatan-hujatan kepada Wali Kota Padang terus menerus terjadi sampai Jumat sore. Bahkan, ada yang kembali mengingatkan, kalau ini adalah salah dari Wako sebelumnya yang meninggalkan “kader” kurang mumpuni. Belum tuntas tugas Wako, sudah meninggalkan dan pergi menjadi Gubernur. Padahal, kalau kita tahu, setiap banjir Padang, Mahyeldi yang sudah berjibaku turun ke lokasi tetap dihujat oleh netizen, bahkan yang dari luar Padang.

Banjir yang kerap terjadi di kota yang disebut paling nyaman dihuni di masa tua di Indonesia ini memang sudah menahun. Entah sudah berapa Wali Kota yang berjanji menanganinya, tetap tidak ada angsuran. Hujan sekitar 5-6 jam saja, banjir sudah mendera. Meski sering dikesampingkan dan disebut dengan genangan air semata.

Kalau begini kondisinya, entah bagaimana kota ini dapat menjadi kota yang paling menarik dan nyaman ditinggali di masa tua. Jangankan yang masih hidup, yang sudah meninggal pun tidak tenang. Terbukti dengan beberapa jenazah berkait kafan yang juga terdampak longsor di Seberang Padang, Kecamatan Padang Selatan. “Pocong” berserakan karena areal pekuburan di perbukitan itu dihondoh longsor. Ini cukup heboh dan membuat miris banyak pihak.

Melihat waktu kerja Hendri Septa yang tinggal beberapa bulan saja, andai masa jabatannya benar berakhir Desember 2023, bukan Mei 2024, tidak akan ada yang bisa diburunya untuk mengatasi banjir. Anggaran kota yang cekak, biaya pegawai yang bengkak, membuat Hendri sulit bertindak. Cukuplah saja, “Walimudo” ini tidak berbuat yang tidak-tidak.

Di masa depan, masalah banjir Kota Padang harus dibedah sedalam-dalam mungkin. Wali Kota Padang selanjutnya, haruslah orang yang benar-benar mampu mengatasi banjir. Kalau perlu, siapa yang bisa memberikan jalan keluar mengatasi banjir ini yang dipilih warga kota pada Pilkada Padang November 2024 mendatang. Solusi banjir harus menjadi tema atau isu yang paling kuat diperdebatkan.

Sebelum debat calon kepala daerah berlangsung, para kandidat harus menyampaikan program mereka mengatasi banjir. Agar ketika menjabat, bisa fokus menyelesaikan masalah banjir. Yakinlah, kalau bisa mengatasi banjir, tak akan ada kandidat yang bisa lagi melawan 2029. Menang bye (bai) istilahnya. Orang Padang akan bersepakat memilih kembali incumbent yang bisa mengatasi masalah banjir kota.

Tapi tak menutup jalan bagi Hendi Septa maju kembali. Karena periode ini bukan periodenya, tapi hanya sebagai pengganti Mahyeldi. Hendri Septa dan tim, sejak hari ini harus bertekad dan memastikan sudah punya solusi jika mau menjadi Wali Kota Padang sejati pada 2024. Karena, dia pasti maju sebagai calon Wako, bukan Wawako pelengkap seperti Pilwako Padang 2018 lalu. Saat konsep-konsep besar dihasilkan tim Mahyeldi dan PKS. Hendri dan PAN hanya mengandalkan konsep kepemudaan dan lahirnya Youth Center.

Hendri Septa, atau siapapun yang berencana menjadi Wali Kota Padang, haruslah punya niat yang baik untuk memastikan banjir tak lagi menjadi momok menakutkan warga. Sejuta penduduk yang sebenarnya masih trauma dengan gempa dan takut tsunami ini, akan lebih sering terkena banjir kalau solusi tak juga diberikan.

Selain konsep yang baik, dukungan dari pemerintahan pusat juga harus menjadi landasan warga kota memilih Wali Kota nanti. Karena, cerdas dan punya konsep sendiri saja tidak cukup. Karena, dana APBD Kota yang hanya sekitar Rp2,5 triliun itu tidak akan cukup untuk membangun infrastruktur pencegah banjir. Membuat normalisasi sungai, melebarkan drainase, memastikan drainase terawat dan membangun jalan lengkap dengan drainasenya.

Jadi, kalau kita kembali bertanya banjir ini salah siapa, ya salah kita semua. Apa sudah betul kita menjadi warga kota, apa sudah benar kita mengelola sampah rumah tangga. Apa yakin tak ada lagi sampah kita yang sampai ke sungai dan membuatnya dangkal. Yang mengakibatkan banjir, karena aliran tak lancar oleh sumbatan sampah-sampah kita. Janganlah kita hanya hanya menjadi penyumpah saja, tapi tak membantu apa-apa.

Mungkin benar, ini adalah ujian dari Tuhan bagi warga kota yang sering kebanjiran. Tapi, jangan lagi ada orang-orang gagal yang kita pilih untuk melanjutkan “kegagalan-kegagalan” lain di masa depan. Penulis terkenal Indonesia, Pramodya Ananta Toer dalam ‘Puisi untuk Ayah’ menulis, “Hujan ingin bercerai dengan banjir. Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia,” Kalau sudah begini, kita bisa apa. (Wartawan Utama)