Kepeka(k)an Pemimpin Kita

ILUSTRASI

Oleh: Reviandi

Entah apa yang ada di pikiran para pemimpin di salah satu Kabupaten di Sumatra Barat (Sumbar) ini. Seorang ibu dan anaknya harus tertahan lebih dari tiga hari pascamelahirkan di RSUD, yang kepanjangannya Rumah Sakit Umum Daerah. Alasannya, karena belum mampu melunasi biayar bersalin secara ekstraksi vakum sekitar Rp5 jutaan. Memang, bukan normal, tapi juga bukan operasi cesar yang lebih mahal.
Konon, sudah dibantu pula koordinasi dengan seorang anggota DPRD setempat dengan pihak rumah sakit, Dinas sosial sampai Baznas (Badan Amil Zakat) daerah. Namun, katanya, keuangan daerah sedang krisis, tak ada satupun program yang bisa digulirkan untuk membantu ibu dan anak yang suaminya hanya seorang pekerja serabutan yang rumahnya hampir 70 Km dari rumah sakit.
Katanya, sang ibu sempat frustasi, entah kemana biaya akan dicari. BPJS yang sebelumnya digembar-gemborkan gratis untuk kalangan mereka, ternyata tak berguna. Sudah beragam cara dilakukan, tapi tetap tak bisa mengkover biaya persalinan itu. Terpaksalah harus bayar secara mandiri atau pribadi dan biayanya terus membengkak.
Dari awal biaya hanya Rp4,8 juta, setiap hari terus bertambah. Bahkan, suami dan istri itu sempat memohon pulang saja dulu, biar anak mereka tinggal di rumah sakit. Tapi, petugas menolak dan memberikan gambaran, jangan berhenti “berjuang” sampai di sini. Meninggalkan anak bukanlah cara yang bijak. Di lain sisi, “argo” rumah sakit terus berjalan dan tidak terbendung.
Untunglah ada yang berbaik hati menebus biayar itu, sehingga ibu dan anak bisa dipulangkan ke rumah mereka kembali. Begitu haru saat ibu-ayah dan anak itu bertemu dengan keluarganya yang lain, tiga orang anak perempuan lainnya. Sudah hampir 10 hari mereka terpisah dan sang ayah juga tak bisa berulang, karena jarak yang cukup jauh itu.
Apa yang salah dengan hal ini? Apakah benar-benar tidak ada lagi kepekaan para pemimpin dan harus membiarkan ibu dan anak yang seharusnya sudah boleh pulang, harus tetap menunggu di rumah sakit. Sementara sang suami tak tahu lagi harus bagaimana. Untunglah dia punya kenalan anggota DPRD yang bisa berusaha membantu berkomunikasi dengan pejabat daerah, meski gagal total.
Kalau tidak ada yang membantu keluarga itu, entah sampai kapan mereka menjadi penghuni rumah sakit. Apalagi, keluarga besar mereka juga sudah sangat jauh dan rata-rata hidupnya sama. Untuk menggalang dana juga harus menunggu lama. Dan sekali lagi, “argo” rumah sakit terus berjalan, seperti pintu taksi yang terus terbuka, tak peduli penumpang sedang berada di dalam atau di luar. Yang penting, belum ada pelunasan biaya.
Saat berita ini beredar di media, banyak yang menyayangkan. Ada yang menghujat yang membantu ria, suka pamer dan memperlihatkan pemberian bantuan dengan maksud tertentu. Apalagi hari ini dekat-dekat dengan politik. Tapi, itu juga menjadi perdebatan. Yang paling banyak dicaci adalah Pemda tempat kejadian itu berlangsung, termasuk Dinas Sosial, Baznas dan yang terkait lainnya.
Kenapa kejadian memalukan, memiriskan dan tidak masuk rasa kemanusiaan ini terjadi di dekat kita. Ada juga para perantau yang “heboh” menyalahkan Pemda dan merasa yakin bisa membantu dengan badoncek atau menyumbang dari perantau. Tapi itu tadi, kejadian ini kebetulan sempat terdengar ke luar dan terekspose di media. Kalau tidak, entah berapa lagi yang akan ditagihkan, mungkin sampai bayi itu agak besar masih ditahan di sana.
Apakah ini kejadian pertama, pastinya tidak. Mungkin saja masih banyak kejadian serupa yang tak terdeteksi oleh kita. Korban-korbannya tak punya akses ke luar dan hanya diam. Mencari dana kesana-kemari, mungkin terjebak dengan pinjaman berbunga besar, pinjaman online, atau menjual harta benda yang berharga. Asal anak mereka atau keluarga mereka bisa pulang ke rumah.
Lalu bagaimana dengan pemimpin kita, pemimpin yang dengan bangganya dilantik usai memenangkan kontestasi. Apa yang dia lakukan sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakatnya yang sedang menderita. Jangankan untuk biaya berobat, untuk makan sehari-hari saja susah. Banyak dibantu oleh tetangga kanan dan kiri, kalau tidak ya harus puasa.
Mana program-program yang prorakyat miskin, mengangkat derajat mereka lebih baik. Mana semua janji yang dimuntahkan saat kampanye, saat debat publik, saat mendatangi rumah-rumah warga. Meminta mereka memberikan suaranya saat pemilihan. Menjadi santun, lunak gigi daripada lidah dan memperlihatkan wajah yang benar-benar ingin mengabdi.
Kini nasi sudah jadi bubur. Buruk muka jangan cermin dibelah. Mulailah kembali mengevaluasi diri, apa yang salah dengan pemerintahan kita. Kenapa hanya untuk “membebaskan” orang tak berpunya dari “penjara” rumah sakit kita tak bisa. Tega membiarkan mereka harus berpisah dengan keluarga lainnya sekian lama. Membuat pikiran mereka terkuras habis, entah dengan apa utang yang tak direncanakan itu dibayar.
Uang yang jumlahnya entah kapan bisa dikumpulkan dari hasil bekerja serabutan di luar. Saat ekonomi sedang hancur-hancurnya didera pandemi. Saat krisis global menjadi ancaman pertakut untuk seantero negeri. Katanya, semua sedang krisis sekarang, jangankan kita, negara maju pun tumbang.
Tapi, tak bisakah tuan dan puan memberikan harapan untuk mereka yang sedang kesusahan seperti itu. Menyediakan obat pereda demam yang tak membuat mereka tak makan pula. Jangan lagi sampai, biaya untuk makan saja tak punya demi menebus obat dan segala bentuk biaya pelayanan kesehatan. Apalagi sampai tergadai segala-galanya demi bisa pulang ke rumah, meninggalkan kamar sempit di rumah sakit.
Cobalah kembali para pejabat mengukur lagi kinerja sendiri, apakah bisa membuat rakyat sejahtera. Dengan anggaran yang sebenarnya cukup, ditambah dana Baznas yang setiap bulan masuk, mengapa kejadian ini masih ada. Bagaimana cara mengelola dan mengapa tidak ada program yang bisa disiapkan untuk masalah semacam ini.
Kejadian yang mencuat ini masih di bulan tujuh, masih ada lima bulan lagi untuk mengurus daerah. Kalau benar sudah sangat akut dan sakit parah pada bulan Juli, apa benar yang membuatnya terjadi. Apakah kepala daerah tak mampu membuat program perencanaan keuangan yang baik, sehingga para kepala OPD atau pejabat daerah lainnya juga tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai-sampai, pihak rumah sakit mengaku tak bisa memberikan kebijakan apa-apa terhadap ibu dan anak itu. Mereka mengaku kondisi keuangan sedang ‘sakit parah’ pada bulan ini. Salah satu sebabnya, karena tagihan biaya perawatan pasien bermasalah sekitar satu miliaran belum dibayarkan oleh Baznas setempat. Sungguh hal yang sangat mengerikan dalam mengurus daerah.
Bahkan, sejumlah kepala OPD juga sudah dihubungi dengan masalah ini dan tak bisa juga berbuat banyak. Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan mengaku tidak ada program yang bisa membantunya. Dana bantuan pelayanan pasien bermasalah melalui Baznas juga sudah habis. Baznas yang sangat profesional terbukti dengan laporan audit keuangan sangat bagus. Bahkan penerimaan zakat tahun 2022 mengalami sedikit peningkatan dari tahun 2021.
Mungkin benar, ini bukan masalah sepele. Begitu berat “ujian” rakyat ketika mendapatkan pemimpin. Kalau pemimpinnya peka, maka ujian itu akan membuat mereka bahagia dan bisa naik kelas. Kalau pekak, alamat akan suram masib anak-anak mereka. Susu tak akan terbeli, saat makan saja susah. Kalau dapat, janganalh ke rumah sakit, atau jangan pula orang susah itu sakit.
Kita kembali ingat apa kata ahli stragegi China yang hidup 544-496 SM, Sun Tzu.”Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka, dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati.” Baiknya memang, kembalilah berpikir ulang. Tidak semua yang mendapat dukungan kuat itu bisa jadi pemimpin yang baik. (Wartawan Utama)