Oleh: Reviandi
Pemilu 2024 apakah bisa dijauhkan dari keikutsertaan dan keberpihakan para aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri? Sepertinya belum. Masih jauh. Bahkan, hari ini semakin banyak terlihat ASN yang tidak netral, dan mulai pro kepada partai politik (parpol) yang dihuni tuannya – ya kepala daerah. Bahkan, lebih “kader” pula para pegawai ketimbang junjungannya.
Apakah itu benar-benar terjadi atau mengada-ngada saja, ya terserah yang menilai saja. Jangankan para pejabat teras sekelas Sekda sampai kepala OPD, para kalene saja sudah paham pepatah Minang, sia laki amak awak, itu apak awak. Maksudnya, siapa yang menjadi kepala daerah hari ini, merekalah tuan mereka. Dan partai politik yang diikuti tuannya, itu pulalah yang mereka anut.
Banyak ASN yang tanpa sungkan langsung terlibat dalam acara-acara parpol tertentu. Ada yang sudah merasa jadi kader partai, dan harus berbakti dengan ketua partainya. Soal baju ASN baik PNS atau honorer, mereka seperti tak menghiraukannya. Mungkin karena belum banyak ASN yang disanksi keras karena hal-hal seperti ini.
Berbeda kalau ketahuan terlibat aktif dalam Pilkada atau Pemilu dan dilaporkan. Hal ini banyak yang membuat mereka terjerat, sampai diberhentikan jadi ASN. Minimal dinonjobkan dari jabatan semula. Meski saat yang mereka jagokan menang, jabatan akan kembali, bahkan lebih tinggi. Jadi, tak masalah kalau hanya disanksi sementara. Besok naiknya lebih tinggi.
Tapi, percaya tidak percaya, ada kepala daerah yang “membebani” perolehan kursi partainya kepada para ASN. Memastikan, simpul-simpul yang akan mendongkrak perolehan suara partainya kepala daerah. Tanpa ragu, tanpa sungkan dan tanpa takut melanggar sumpah jabatan, si pejabat dengan lancar bekerja dan benar-benar seperti politisi ulung.
Hal-hal seperti itu seakan wajar saja bagi para ASN, baik di tingkat bawah sampai paling atas. Kalau dipikir-pikir, para pegawai ini lebih politis pula daripada orang partai politik. Karena mereka bertahun-tahun berkutat dengan pemegang kekuasaan, berganti-ganti orang, berganti sistem dan lainnya. Namun, para pamong masih setiap tetap di posisi-posisi mereka.
Jadi, tak heran pula kalau kematangan politik ASN ini jauh di atas petugas partai, anggota parpol dan sejenisnya. Karena rekruitmen anggota partai saat ini begitu mudahnya. Tak banyak yang benar-benar memahami idelogis, riwayat, sampai visi dan misi partai. Yang penting mau mengisi kartu tanda anggota (KTA) partai politik. Soal latar belakang pendidikan, sosial, budaya dan lainnya tak penting. Karena semua orang sama di mata parpol – sama-sama bernilai satu suara. Tak ada orang yang suaranya lebih dari satu.
Kalau itu dari sisi para ASN, dari sisi para kepala daerah juga banyak pelanggarannya. Seperti melakukan mobilisasi ASN untuk acara-acara tertentu yang berkaitan dengan partai politik yang dianut kepala daerah. Ada pula yang meminta para ASN membantu penguatan partainya, dengan memaksa mereka mencari orang-orang yang bisa dibuatkan KTA partai.
Kalau itu tidak dilakukan, maka para ASN itu bisa saja hilang dari peredaran, atau dipindah ke lokasi yang jauh dari tempat tinggal semula. Mutasi seperti ini adalah hal yang paling ditakutkan pegawai. Apalagi yang sudah beranak berakar di satu daerah. Pindah mendadak, dan tidak pada posisi yang sesuai dengannya, adalah momok yang membuat mereka takut. Lebih takut dari kehilangan pekerjaan itu sendiri.
Pada posisi seperti ini, kebanyakan ASN akan pasrah dan manut dengan apa yang diminta bosnya. Bukan karena patuh, tapi takut. Untuk melapor pun, tak tahu kemana. Banyak yang memilih menunggu Pilkada berikut, dan berharap kepala daerah mereka berganti. Kalau tidak, terjun langsung mendukung lawan politik dari incumbent.
Nah, ini masalah lain lagi bagi para pegawai. Mereka tidak akan sungkan-sungkan masuk ke dalam “tim sukses” calon kepala daerah, baik petahana atau tidak. Karena, ada jaminan jabatan lebih tinggi saat jagoan yang didukungnya menang. Meski juga menyisakan ancaman, akan terpinggirkan jika jagoannya kalah dan yang menang tahu dia tidak memihaknya.
Beberapa kasus terlihat usai Pilkada serentak di Sumbar 2020 kemarin. Sejumlah kepala OPD baik jabatan kadis atau kepala badan, memilih hengkang dari daerahnya ke daerah lain. Karena merasa pasti tidak akan mendapat jabatan, atau sudah mendapatkan ancaman atau intimidasi dari kepala daerah atau tim sukses yang menang. Kalau masih bertahan, alamat akan nonjob atau tidak akan dianggap.
Tak heran, “transfer” antarkepala OPD Kabupaten/Kota se-Sumbar terjadi dengan drastis. Banyak juga yang memaksa naik kelas ke Provinsi atau turun kelas ke Kabupaten dan Kota. Yang penting, mereka aman selama masa jabatan dipegang oleh yang berkuasa saat ini. Jika biasanya lima tahun, khusus Pilkada 2020 cukup tiga tahun sembilan bulan saja, sampai Pilkada serentak nasional November 2024.
Tapi, para ASN, utamanya yang sudah punya jabatan eselon, juga pandai “balas dendam” kepada para kepala daerahnya. Mereka sangat paham dengan Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatangani Persetujuan Tertulis untuk Melakukan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Dalam Permendagri itu ditegaskan, bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Nah, ini adalah masa-masa yang dinanti para ASN yang tidak sejalan dengan kepala daerahnya. Mereka bisa “membangkang” dan sampai menganggap bosnya tidak ada lagi. Ini juga yang membuat kepala daerah bersiasat dengan membaik-baiki mereka dengan janji-janji akan mendapatkan jabatan lebih baik jika tetap manut. Meski belum tahu juga, apakah akan ditepati atau tidak nantinya.
Netralitas pegawai ini memang menjadi catatan buruk demokrasi di Indonesia dan terus diperhatikan dengan ketat. Karena, ketidaknetralan aparatur, adalah cikal-bakal semakin bobroknya demokrasi Indonesia. Karena itulah, dapat dimaklumi lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah 2024.
SKB ini ditandatangani oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Plt. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto, serta Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja, Kamis 22 September 2022 lalu di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta.
Semoga SKB ini bisa mengawal birokrasi yang netral serta ASN yang professional dan tidak terlibat politik praktis. Menjunjung tinggi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas telah mengeluarkan statemen bernas. “Ketidaknetralan ASN akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat karena adanya potensi intervensi politik dalam proses pencapaian target pembangunan.” Sudah, itu saja garisannya. Netral. (Wartawan Utama)